Mohon tunggu...
Sadam Syarif
Sadam Syarif Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis jalanan

Suka ngopi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kode Etik DPR dan Demokrasi "Semu" Indonesia

28 Mei 2020   06:08 Diperbarui: 28 Mei 2020   06:18 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Multiple Efek pandemik corona virus yang terepidemi ke semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara begitu nyata terasa. Fenomena peradaban post modern ini secara cepat mengubah hampir semua pola dan tatanan kehidupan, bahkan jauh lebih cepat dengan fenomena distrupsi teknologi informasi dan komunikasi pada awal abad 21. Dalam hitungan lima hingga 6 bulan saja, makhluk yang konon merupakan hasil rekayasa bioteknologi ini telah mengeropos sendi-sendi perekonomian global secara signifikan. 

Rantai pasok global memburuk drastis, harga minyak dunia pun turut ambruk. Banyak Perhelatan internasional yang harus ditunda. Tidak sedikit pula pertemuan diplomatik beberapa negara dan konferensi tingkat tinggi negara-negara dibatalkan dan alihkan melalui media daring. Ketegangan politik di level nasionalpun juga turut terimpoten oleh kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Akibatnya, praktek berdemokrasi di Indonesia secara khusus berjalan dengan penuh kepincangan di lorong-lorong gelap fenomena pandemik.

Disahkannya Perppu 01 tahun 2020 menjadi puncak kepincangan demokrasi di negara demokrasi presidensial ini. Transisi demokrasi Indonesia yang tengah bingung mencari jati dirinya yang sejati, kini harus diuji dengan dua krisis substansial, yakni krisis kepemimpinan nasional dan krisis moral elit politik. Dua krisis ini justru terjadi di tengah krisis pandemik corona virus yang menghebohkan publik. 

Dan dalam situasi lose control publik inilah, timbul syahwat aktor eksekutif dengan mayoritas elit politik di lembaga legislatif untuk melakukan kesepakatan gelap dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan pandemik. 

Di sisi lain peran lembaga yudikatif dan lembaga penegak hukum baik kepolisian dan militer tentu telah dijinakan oleh skema operasi senyap rezim. Lembaga Dewan perwakilan Daerah (DPD) pun turut tenggelam dalam kubangan lumpur hegemoni politik rezim. Sampai lembaga yang tak banyak manfaatnya ini nyaris hilang dari peredaran dan tontonan publik.

Dewan Perwakilan Rakyat yang sesungguhnya adalah repsentasi kedaulatan rakyat justru rela dicotok hidungnya oleh rezim eksekutif yang notabene dalam kebijakannya justru jauh dari kepentingan bangsa dan negara. Disahkan RUU minerba dan pembahasan RUU Omni bus law secara sepihak oleh DPR tanpa memperhatikan masukan dan melibatkan kaum buruh dan akademisi merupakan tindakan pemaksaan kehendak politik. 

Di samping DPR secara kelembagaan yang terkesan bisu dengan isu masuknya ratusan tenaga kerja asing asal China di beberapa wilayah saat rakyat sedang dirundung ketakutan akan acaman corona virus.

Di sisi lain, publik hampir tidak pernah melihat peran dan fungsi DPR dalam proses pembentukan sebuah produk Undang-undang. Selama ini kita hanya melihat DPR dalam fungsi legislasinya hanya menjadi stempel atas kebijakan dan UU yang dilahirkan oleh pemerintah. Sekali saja DPR mengusulkan sebuah RUU maka justru akan menimbulkan kegaduhan yang semakin mempertegas ketidakproduktifannya sebagai lembaga legislatif. 

Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) mencatat, selama periode 2014-2019 DPR hanya mengesahkan 84 RUU. Jumlah ini jauh dibanding periode sebelumnya yang mencapai 125 RUU. Sementara pada prolegnas 2020 DPR tak tanggung-tanggung menyiapkan 50 RUU prioritas. Sebuah hasyrat keliru dan sejatinya tanpa tenaga,  serta penuh dengan tanda tanya maksud dan tujuan sesungguhnya. Hampir satu semester tahun 2020 saja DPR secara kucing-kucingan mengesahkan RUU minerba dan RUU PKS yang penuh dengan kontraversial dan penolakan dari masyarakat sipil.

Tak jauh beda dengan fungsi legislasi, fungsi pengawasan yang diamanahkan oleh rakyat kepada wakilnya di senayan tak jarang diabaikan begitu saja. Itu terbukti dengan tingginya kasus penyelewengan keuangan dan hukum yang dilakukan oleh pihak eksekutif, baik melalui kementrian dan lembaga hingga BUMN. Hal ini terkonfirmasi pada bocornya kasus Jiwasraya yang merugikan negara hingga belasan triliun rupiah. 

Dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya, yang hal ini tentu saja diakibatkan oleh lemahnya mitigasi dan fungsi pengawasan DPR. Meskipun secara konstitusional DPR memiliki tugas dan wewenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan pemerintah, namun tak jarang dalam prakteknya terdapat banyak anggota DPR yang justru turut terlibat aktif dalam praktek penyalahgunaan anggaran dan UU.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun