Pulang ke rumah membawa banyak bungkusan yang tak berapa lama kemudian, semua isinya ludas berpindah ke dalam perut kami. Puas ngemil, acara selanjutnya berpindah ke pekarangan. Biasanya teman-teman sebaya kami sudah riuh di luar sana dengan berbagai keasyikan. Buat kami itu saatnya uji nyali dengan kembang api, jenis yang batangnya terbuat dari kawat kecil dengan gumpalan abu-abu mengeras di setengah bagiannya.
Gumpalan itulah yang disulut menggunakan korek dan begitu terbakar, percikan-percikan api bercipratan indah menyerupai bunga Desember yang sedang mekar. Sesekali letikan apinya mendarat di tangan atau kaki dan membuat kami memekik. Sedikit pedih tapi tak bikin kapok.
Bapak senang menemani kami bermain kembang api, bahkan mengajari hal yang mengasyikkan : Melemparkan kembang-kembang api yang setengah menyala ke pepohonan besar yang kala itu tumbuh subur di lingkungan kami. Mereka melesat naik lalu tertahan di ranting-ranting dalam kanopi pohon-pohon yang tinggi. Pendar-pendar terang percikan api itu terlihat begitu gemilang di ketinggian sana membuat kami dan banyak bocah lain melompat-lompat girang.
Setiap kali padam, ritual lempar kembang api kembali diulang sampai batang terakhir dan kami harus masuk ke rumah. Saatnya untuk tidur agar tak kesiangan bangun sahur.