Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kembang Api dan Jajanan Tetangga

16 April 2021   09:47 Diperbarui: 16 April 2021   09:57 929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bermain kembang api di malam-malam Ramadan rasanya sangat luar biasa (dok.India.com,Vecteezy/ed.WS)

Semasa kecil keramaian hari-hari Ramadan di rumah kami biasanya dimulai jelang Ashar, saat bunda tercinta (semoga Rabb melapangkan barzakh dan meringankan hisab beliau kelak) mengawali ritual dapurnya. Menanak nasi, memotong berbagai produk nabati-hewani sesuai menu yang direncanakan, meracik bumbu, dan ... ini yang paling menggoda iman : Saat bumbu-bumbu mulai ditumis atau saat rebusan di panci mendidih membuarkan imajinasi kelezatan tingkat dewa di udara.  

Aroma masakan itu selalu sukses menjadi magnet yang menarik kami, bocah-bocah kakak beradik pejuang adzan Magrib, merapat ke dapur dan tanpa bosan bertanya,"Masak apa, Mah?"

Biasanya Mamah akan menjawab seperlunya lalu menghalau kami ke luar dapur sembari mengingatkan untuk bersiap-siap mengaji di Masjid Darul Hidayah yang tak seberapa jauh dari rumah. Selepas Ashar ke sanalah kami menjalani ngabuburit (istilah khas Sunda untuk aktifitas apapun yang ditujukan sebagai pengisi waktu menunggu berbuka puasa, -pen.) dengan belajar berbagai hal seputar Islam dari mulai Tauhid, Ilmu Hadits, Tarikh, Fikih, Tajwid, dan lainnya. Saya pikir-pikir sekarang, kurikulum pesantren petang Darul Hidayah saat itu terbilang cukup lengkap sebagai modal awal bagi para santrinya untuk mempelajari Islam secara kaffah sepanjang perjalanan hidupnya ke depan.

Ramadan di masjid identik dengan buka bersama dan selalu saja ada banyak aneka penganan manis-gurih atau buah-buahan kiriman warga sekitar atau siapapun yang ingin bersedekah sambil berharap mendapat tambahan pahala selain dari puasa yang dijalankannya sendiri. 'Barangsiapa memberi makanan berbuka bagi yang tengah berpuasa, maka dia akan mendapat pahala puasa dari orang yang menikmati pemberiannya tanpa sedikitpun mengurangi pahala puasa dari si penerima', begitu bunyi hadits yang sangat populer tiap Ramadan.

Banyak teman-teman mengaji kami yang turut buka bersama di masjid, namun kami memilih pulang ke rumah memburu hidangan yang sudah disiapkan Mamah. Sebagaimana lazimnya di masa itu, meja makan kami sarat dengan berbagai hidangan dari mulai kolak pisang-kolang kaling dan semacamnya sampai sayur sop ayam atau lainnya plus berbagai lauk yang digoreng dari mulai tempe-tahu, aneka perkedel, dan rombongannya. Tentu saja karena Mamah dan Bapak asli priyayi Jawa Tengah, teh manis yang kental tak pernah luput tersaji.

Kami pun duduk bersama mengelilingi meja makan bersama Bapak (semoga Rabb melapangkan barzakh dan meringankan hisab beliau kelak) kalau beliau tidak lembur di kantor. Mamah selalu memisahkan semua jenis hidangan khusus untuk ayah kami sembari menekankan bahwa saat makan bersama Bapak, kami harus menunggu beliau mengambil hidangan terlebih dahulu dan setelah itu barulah giliran kami.

Setelah adzan Isya berkumandang, kami bersama Bapak dan Mamah pun berangkat ke masjid untuk ikut berjamaah Isya disambung Tarawih. Sebelum Tarawih biasanya ada ceramah singkat dari pemimpin pesantren yang familiar dipanggil Ajengan Memet atau ustadz-ustadz lainnya. Sesekali ada juga da'i  kondang yang tengah digemari masyarakat mengisi momen tausiyah Ramadan itu.

Satu hal yang tak terlupakan adalah kiat para ustadz di Darul dalam menangani bocah-bocah, terutama lelaki, yang suka berseliweran dan berisik banyak ulah saat jamaah dewasa tengah mendirikan sholat Tarawih. Khusus kelompok bocah cilik, kelas 1-3 SD atau yang lebih muda, dikumpulkan di ruang khusus dan mendirikan sholat Tarawih lebih dulu diimami oleh ustadz. Usai Witir, mereka pun dihalau Tim Ustadz untuk meninggalkan area masjid dan dipesan untuk tidak berkeliaran atau membuat kegaduhan selama sholat Tarawih di aula utama berlangsung.

Sementara untuk bocah yang lebih besar, umumnya siswa SMP alias anak baru gede, dan hobi ngerumpi yang saking asyiknya mereka lupa mengontrol volume suara sehingga mengganggu jamaah lain yang tengah menyimak ceramah. Pada kasus ekstrim, penceramah terpaksa harus menginterupsi paparannya untuk menegur mereka. Pengamanan yang satu ini biasanya diserahkan pada ustadz-ustadz yang dikenal killer alias galak tak kenal kompromi. Salah satunya adalah mendiang Pak Udin (Al Fatihah buat beliau) ,yang berwajah dingin dengan kumis tebal kaku dan irit bicara, dia hanya perlu berjalan mengendap di belakang gerombolan yang berisik dan begitu kehadirannya disadari oleh salah seorang mereka, tombol  mute pun otomatis menyala.

Usai Tarawih kami biasanya berjalan pulang dengan merapat pada Mamah, bendahara keluarga yang doyan jajan. Maklum sudah jadi tradisi setiap Ramadan, banyak tetangga kami yang menjadi penjaja kuliner kagetan dan kami sangat berat hati untuk 'mengabaikan' mereka.

Mereka cukup memasang meja kecil di depan rumah atau di mulut gang untuk memajang aci goreng, bakwan sayur alias bala-bala atau kerupuk mie kuning besar dengan sepanci kecil saus kacang encer manis-pedas beraroma kencur, berbagai minuman segar warna-warni, asinan sayur-buah yang kami lebih suka menyebutnya rujak cuka , dan masih banyak lagi lainnya yang tak pernah gagal membuat kami ngiler lalu mencolek Mamah untuk mencairkan anggaran jajan. Biasanya selalu lancar jaya karena beliau juga menikmatinya.

Pulang ke rumah membawa banyak bungkusan yang tak berapa lama kemudian, semua isinya ludas berpindah ke dalam perut kami. Puas ngemil, acara selanjutnya berpindah ke pekarangan. Biasanya teman-teman sebaya kami sudah riuh di luar sana dengan berbagai keasyikan. Buat kami itu saatnya uji nyali dengan kembang api, jenis yang batangnya terbuat dari kawat kecil dengan gumpalan abu-abu mengeras di setengah bagiannya.

Gumpalan itulah yang disulut menggunakan korek dan begitu terbakar, percikan-percikan api bercipratan indah menyerupai bunga Desember yang sedang mekar. Sesekali letikan apinya mendarat di tangan atau kaki dan membuat kami memekik. Sedikit pedih tapi tak bikin kapok.

Bapak senang menemani kami bermain kembang api, bahkan mengajari hal yang mengasyikkan : Melemparkan kembang-kembang api yang setengah menyala ke pepohonan besar yang kala itu tumbuh subur di lingkungan kami. Mereka melesat naik lalu tertahan di ranting-ranting dalam kanopi pohon-pohon yang tinggi. Pendar-pendar terang percikan api itu terlihat begitu gemilang di ketinggian sana membuat kami dan banyak bocah lain melompat-lompat girang.

Setiap kali padam, ritual lempar kembang api kembali diulang sampai batang terakhir dan kami harus masuk ke rumah. Saatnya untuk tidur agar tak kesiangan bangun sahur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun