Dinamis dan enerjik begitulah kesan yang muncul saat pertama kali berinteraksi dengan Mas Agung Firmansyah (Kompi L, Diklatsamil 1980) di acara reuni Yon II Unpad beberapa waktu lalu. Alumnus Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad angkatan 1978, yang sekarang berkiprah di majalah bisnis SWA-Sembada Jakarta, ini menuturkan perjalanannya meninggalkan skripsi yang tengah dikerjakan dan hijrah ke Jakarta karena sukses menjalani perekrutan wartawan yang diselenggarakan Majalah Berita Mingguan (MBM) ‘TEMPO’ Jakarta, sebuah majalah prestisius di Tanah Air yang sajian utamanya adalah berita dan politik.
“Sebenarnya salah satu kualifikasi yang diminta untuk posisi itu adalah pendidikan sarjana dan dari ratusan kandidat saat itu (1984) hanya terpilih 10 orang, salah satunya ya saya yang masih berstatus mahasiswa.” Ujar Mas Agung seraya menambahkan bahwa penerimaan dirinya sempat menimbulkan polemik di kalangan internal MBM 'TEMPO' namun karena yang dibutuhkan adalah wartawan yang kapabel maka akhirnya hal itupun tak dipermasalahkan lagi,”Sebelumnya saya sudah aktif menulis dan karya-karya saya telah dipublikasikan di berbagai media cetak seperti ‘Pikiran Rakyat’ dan ‘Bandung Pos’...” Hal tersebut memberi nilai plus untuk portofolionya. Apalagi belakangan terbukti dalam urusan mengejar dan menghasilkan berita, Mas Agung tergolong jajaran wartawan produktif di majalah berkualitas itu. Ayahandanya seorang pejuang kemerdekaan yang berjuang bersama-samadengan Solichin GP dan mantan Gubernur Jawa Barat,Yogie S Memet; yakni ‘Brenny’ Suryani ( Menurut Mas Agung, ‘Brenny’ adalah julukan beliau karena senjata yang disandangnya di medan tempur tipe senapan mesin ringan (SMR) Bren) dan semasa SD-SMA, dia aktif sebagai anggota Pramuka Saka Bahari binaan TNI AL di kawasan Pekalongan ,”Pelatih kami biasa melemparkan semacam brevet kecakapan khusus ke laut, para anggota harus ‘nyebur’ ke dalammya dan menyelam untuk mendapatkan brevet itu...” Mas Agung tersenyum, “Gila, nggak?”. Pada akhirnya kedua hal itulah, ditambah latar belakangnya sebagai pecinta alam dan pendaki gunung, yang mendorong dia memutuskan untuk menjadi anggota Menwa di almamaternya. Semasa Diklatsar Kie L, Mas Agung terpilih sebagai Danki Siswa dan saat longmarch yang merupakan penutup pendidikan, dia memotivasi rekan-rekannya yang sudah kepayahan untuk tetap melanjutkan perjuangan,”Saya bantu memondong senapan-senapan mereka dan saya tuntun agar kami dapat bersama-sama menyelesaikan Diklatsar ..” Keharuan sesaat melintas di wajahnya saat dia bercerita. Semasa menjadi anggota Menwa, Mas Agung berkiprah membidani lahirnya sekaligus menjadi presiden pertama Republic Science Club (RSC) pada tahun 1981 yang beranggotakan 12 fakultas di lingkungan kampus Universitas Padjadjaran Bandung. RSC yang kegiatannya bertumpu pada pengkajian lintas ilmu dan selanjutnya hasil pemikiran tersebut sedapat mungkin langsung diaplikasikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Program Bina Desa, misalnya, adalah salah satu bentuk karya yang digelontorkan klub ilmiah tersebut. RSC juga sukses menggelar Pekan Buku Murah (1981) pertama dalam sejarah Unpad bekerjasama dengan penerbit-penerbit nasional terkemuka dan selanjutnya dijadikan semacam model bagi kegiatan serupa di kampus. Keasyikan berkarya sebagai wartawan yang bisa dibilang ‘elit’ pada masanya (“Para dosen,dekan, dan bahkan Rektor sering meminta pendapat saya dalam berbagai kesempatan karena kapasitas saya sebagai wartawan TEMPO.” Ujar Mas Agung) ditambah pula penghasilan yang relatif besar sebagai seorang lajang; mau tak mau berdampak pada studinya. Pada tahun 1987, pihak kampus melayangkan surat ancaman ‘drop out’ yang awalnya tak begitu dia hiraukan. Sampai akhirnya Bunda tercinta,alm Hj Dewi Afiah, tanpa sepengetahuan Mas Agung mendatangi Kepala Biro-nya,wartawan senior kawakan, Bambang Harimurty (calon astronaut Indonesia yang akrab dipanggil BHM) dan dengan tegas mengatakan,”Saya tidak mau uang dari anak saya, saya mau melihat dia diwisuda sebelum saya mati.” Ketetapan Bunda yang tak bisa ditawar lagi itu,plus dukungan dari Bambang, akhirnya memaksa Mas Agung kembali ke kampus tepat 3 bulan sebelum ‘DO deadline’. Revisi skripsi berlangsung relatif lancar karena dukungan penuh kekasih (Sang Istri, Ida Gani) plus calon kakak ipar ( Prof Dr Anang Z Gani, MSIE; Guru Besar ITB) plus perangkat komputer (PC) pinjaman dari kakak Mbak Ida tersebut,” Skripsi saya adalah skripsi pertama dilingkungan Fikom Unpad yang dikerjakan menggunakan komputer...” dan dia pun sukses memenuhi harapan Sang Bunda. Mas Agung yang hanya mau memperlakukan politik sebagai aspek kajian keilmuan dan tengah menyusun disertasi untuk program doktoral di Komunikasi Politik Unpad, ini mengungkapkan gelar bukanlah segalanya namun proses belajar hendaknya terus terpelihara sepanjang hayat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI