Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Loyalitas Kebangsaan dan Nobar Film G30S

29 September 2017   17:42 Diperbarui: 29 September 2017   17:48 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Loyalitas kebangsaan adalah sebuah konsep abstrak yang berlapis-lapis. Konsep filosofis yang harus dipahami dalam kerangka pemahaman yang ajek. Tidak sepotong-sepotong.  Dan setiap lapisnya tidak boleh saling mendahului atau berganti posisi. Sebab jika lapis pertama, misalnya, menggantikan posisi lapis ketiga, atau sebaliknya, maka kesimpulannya berpeluang mengalami disorientasi yang membingungkan publik.

Kebingungan atau disorientasi publik juga bisa terjadi jika variabel yang hanya bersifat pendukung pada setiap lapis, diposisikan sebagai variabel inti.

Keadilan

Dan variabel inti pada lapis pertama loyalitas kebangsaan adalah keadilan, sebagai jangkar (banchmark) sekaligus ukuran untuk menilai lapis-lapis loyalitas kebangsaan lanjutanya.

Dan mengacu pada berbagai data, persoalan utama yang dihadapi bangsa ini adalah persoalan keadilan. Grafik berbentuk piramida yang menggambarkan fostur tentang orang kaya, kelas menengah dan orang miskin di Indonesia adalah bukti nyata betapa keadilan masih jauh dari cita-cita ideal kebangsaan. Dan repotnya, sejauh ini, para pakar ekonomi tampaknya juga ikut kebingungan atau malah kehabisan teori untuk memperbaiki kezaliman sosio-ekonomi itu.

Kita bisa berdebat tentang variabel keadilan semalam suntuk. Namun diutak-atik kayak bagaimanapun, dengan menggunakan teori dan ideologi apapun, ujung-ujungnya adalah bahwa output atau outcome praktek keadilan adalah pemerataan kesejahteraan, atau pemerataan kesempatan untuk bisa sejahtera.

Singkat kalimat, kita belum selesai dalam soal keadilan, yang sekali lagi, merupakan lapis pertama dan utama untuk merekat loyalitas kebangsaan.

Rasa memiliki

Keadilan dan/atau keberadilan pada akhirnya akan menciptakan rasa memiliki, yang muncul dari kesadaran setiap warga bangsa, terhadap nation-state. Rasa memiliki itu bolehlah ditempatkan pada lapis kedua loyalitas kebangsaan.

Mencita-citakan rasa memiliki terhadap nation-state, di tengah ketidakadilan yang kasar dan kasat mata bahkan cenderung semakin menggila, adalah ibarat menegakkan benang basah.

Tanggung jawab

Dengan keadilan yang melahirkan rasa memiliki, selanjutnya akan menciptakan rasa tanggungjawab untuk merawatnya. Tanggung jawab itu merupakan lapis ketiga dari bangunan loyalitas kebangsaan.

Tidak mungkin meminta warga bangsa untuk memiliki rasa tanggung jawab guna merawat loyalitas kebangsaan, bila warga bangsa itu dibiarkan atau diposisikan sebagai orang lain, seperti bukan pemilik negara-bangsa ini.

Singkat kalimat, hanya kepemilikan yang dapat memompa rasa bertanggungjawab. Analogisnya sederhana: akan sangat sulit, misalnya, meminta seseorang untuk bertanggungjawab dalam merawat sebuah mobil yang bukan miliknya, atau rumah yang bukan miliknya.

Kebersamaan

Bila tiga lapis loyalitas kebangsaan itu (Keadilan + kepemilikan + tanggungjawab) dikelola dengan baik, pada gilirannya akan melahirkan kebersamaan, yang dibalut keadilan, rasa memiliki dan rasa tanggungjawab untuk merawatnya.

Dalam kebersamaan, semua kebijakan dan perilaku berbangsa dan bernegara akan berotasi kembali kepada keadilan. Dan inilah yang boleh disebut "loyality cycle (rotasi loyalitas)", yang diharapkan terus berputar, dan melalui proses berputar yang tanpa henti itulah, segala yang kurang dan belum maksimal pada setiap jenjang lapisnya dapat dibenahi.

Simpulnya, loyalitas kebangsaan menjadi rasional bila dibalut oleh empat lapis penyangganya: Keadilan + kepemilikan + tanggungjawab + kebersamaan. Begitu pula sebaliknya.

Karenanya, menggunakan Nobar film G30S, betapapun pentingnya, sebagai acuan untuk menilai loyalitas kebangsaan seseorang atau kelompok. justru semakin membuktikan adanya kepincangan konseptual dalam memahami loyalitas kebangsaan.

Tentu, menonton film dokumenter historis bukan sesuatu yang salah, baik menonton sendiri-sendiri atau menonton bareng (Nobar). Silahkan saja! Tapi kegiatan itu harus diposisikan sebagai bagian dari "variabel pendukung" dalam proses pematangan pesan-pesan loyalitas kebangsaan, bukan variabel inti loyalitas kebangsaan.

 Syarifuddin Abdullah | 29 September 2017 / 09 Muharram 1439H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun