SABARIINDEPENDENT-KALTENG. Beberapa bulan yang lampau, Isu penolakan penempatan transmigran dibeberapa wilayah kalimantan mencuat ke permukaan. Berbagai kelompok Masyarakat di Kalimantan mengkritisi rencana Kementerian Transmigrasi Republik Indonesia ntuk kembali mengirimkan transmigran ke lahan yang dianggap masih kosong di beberapa wilayah di Pulau Kalimantan. Penolakan itu ramai menjadi topik perbincangan, diskusi bahkan mengarah pada perang opini di berbagai platform sosia media seperti facebook, tiktok, instagram dan X.
Pro kontra terhadap suara penolakan itu menggema dan terus diamplifikasi oleh masing-masing kubu. Tidak dapat dipungkiri, dalam diskursus yang berkembang turut muncul anasir-anasir yang mencoba mendompleng dan menitipkan kepentingannya dalam pembicaraan publik. Baik dari pihak yang pro maupun kontra, potensi mereduksi diskursus menjadi sekadar antagonisme ruang publik sama besarnya. Apalagi ketika aroma sektarianisme berbasis suku, ras dan agama mulai turut muncul dalam diskursus. Untungnya, Pemerintah segera mengevaluasi dan merespon dengan cukup sigap. Sehingga sektarianisme yang baru mulai menyeruak tidak memiliki basis relevansinya lagi.
Tapi apakah dengan ditangguhkannya rencana penempatan transmigran baru dikalimantan lalu menyelesaikan masalah? Hemat penulis, tidak sama sekali. Bahkan penangguhan itu semakin mempertegas bahwa sistem tata kelola transmigrasi di Republik ini bermasalah. Secara diam-diam Negara seolah mengakui bahwa transmigrasi bukanlah solusi akhir tapi hanya salah satu cara yang dapat diambil apabila resistensi publik tidak besar.
Kekeliruan Paradigmatik
Sejak dahulu kala, Transmigrasi dimaknai sebagai upaya mengurai kepadatan Pulau Jawa, sekaligus mengisi kekosongan Pulau Sulawesi, Kalimantan, Sumateran dan pulau-pulau lainnya. Dengan kata lain, transmigrasi adalah peristiwa yang dibasiskan pada kondisi georafis dan demografis. Dimana ada wilayah yang dianggap terlalu padat, sehingga penduduknya harus dipindahkan sebagian ke wilayah yang dianggap masih kosong.
Pemaknaan semacam ini berakar pada beberapa kekeliruan paradigmatik. Pertama, Negara menganggap bahwa masalah yang dihadapi adalah persoalan kuantitatif dimana sebuah luasan wilayah geografis tidak lagi mampu menampung jumlah demografis manusia yang mendiaminya. Anggapan ini mengaburkan fakta bahwa penumpukan manusia dalam satu wilayah bukan sekedar peristiwa antropologis, tapi secara historis justru merupakan peristiwa sosio-ekonomi. Negara seakan lupa bahwa jumlah penduduk yang besar itu menjadi masalah justru karena kapasitas ekonomi suatu wilayah tidak lagi mampu menghidupi jumlah penduduk yang mendiaminya.
Kedua, pemindahan sebagian penduduk dalam kerangka mengurai kepadatan sebuah wilayah mengabaikan fakta bahwa penduduk atau warga negara adalah makhluk yang punya dorongan internal untuk senantiasa melakukan mobilitas sosial. Dengan kemajuan teknologi dibidang transportasi seperti jaman ini, mobilitas antar wilayah menjadi cara yang banyak dipakai untuk meningkatkan potensi diri setiap orang. Dorongan alamiah manusia untuk menjangkau tempat-tempat baru adalah invensi yang tidak dapat dihindari.
Berangkat dari dua alasan itu, menjadi tidak berlebihan jika transmigrasi yang sebelumnya dicanangkan oleh Pemerintah disebut sebagai upaya mengurai kepadatan Jawa, menambah Kemiskinan Kalimantan. Artinya Negara hanya sedang memindahkan kemiskinan dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Tanpa pernah benar-benar menjadikan transmigrasi sebagai solusi Pengentasan Kemiskinan Jawa melalui Percepatan Pembangunan Kalimantan.
Tegakkan UU PA: Redistribusi Tanah
Sejak awal kemerdekaan, ketimpangan wilayah Jawa dan Luar Jawa adalah masalah warisan Kolonial Belanda. Pemerintah di masa-masa awal berdirinya Republik ini sudah berhasil menyusun satu bangunan berpikir yang sangat visioner, yaitu Keadilan Sosial melalui Redistribusi Tanah yang dikemas dalam Semangat Reformasi Agraria. Konkritnya, pada Tahun 1960, Pemerintah masa itu menyusun Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) yang intisarinya adalah mengembalikan Hak dan kedaulatan Rakyat atas kepemilikan Tanah.