Mohon tunggu...
Satto Raji
Satto Raji Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance Worker for Photograpy, Content Writer, Sosial Media,

Belajar Untuk Menulis dan Menulis Untuk Belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Ketapels Berdaya] Cafe Deaf FingerTalk; Mereka Hanya Tuli, Tidak Bodoh

17 April 2016   00:52 Diperbarui: 17 April 2016   09:46 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seberapa Besar Perhatian Pemerintah Terhadap Tuna Rungu

Kalau ditanya kepada pemerintah khususnya BPS, berapa banyakkah penderita tuli di Indonesia tidak ada jawaban pasti. Yang terdata hanya total penderita cacat di seluruh Indonesia kurang lebih 15% dari total jumlah penduduk. Kalau mau di kira-kira mungkin yang tuli ada 5%, itu pun masih kira-kira. Ujar Pingkan C.R Warouw ketua INASLI (Indonesia Sign Language Interpreter).

Wanita energik berambut pendek yang sering di panggil ibu Pingky ini adalah salah satu interpreter program berita TVRI. Sejarah bahasa isyarat di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak Indonesia masuk ke PBB untuk kedua kalinya. Organisasi pemersatu bangsa dunia ini memberi syarat agar Indonesia mempunyai bahasa isyarat yang diakui secara luas.

Lalu dengan dana donasi PBB, Indonesia dibawah menteri pendidikan saat itu membuat panduan SIBI (Sistem Bahasa Isyarat Indonesia) yang sampai saat ini dipergunakan di seluruh SLB di Indonesia. Untuk pengajaran di sekolah SIBI sangat membantu karena mempunyai panduan tertulis, tetapi ketika diaplikasikan ke kehidupan nyata sangat tidak efektif.

SIBI sangat rumit ketika harus mengisyaratkan sesuatu hal, untuk itu para tuli lebih suka menggunakan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) yang lebih aplikatif dan fleksibel.

Menurut Pingky, SIBI dari awal merujuk pada ASL (American Sign Language). Jelas agak susah diterima di Indonesia karena perbedaan bahasa ibu. Selain itu SIBI dirumuskan sebagaian besar oleh orang normal bukan tuli yang berusaha menterjemahkan bahasa umum kepada orang tuli, bukan sebaliknya.


Di BISINDO justru kebalikannya, para tuli ini membuat bahasa isyarat yang dapat mereka mengerti secara umum sehingga lebih mudah bagi mereka untuk berkomunikasi.

INASLI sendiri masih mengkombinasikan keduanya, karena punya kelebihan masing-masing. “Untuk itulah kami selalu di temani konsultan yang benar-benar orang tuli disetiap event kami, tujuannya agar konsultan bisa memberi masukan jika ada bahasa yang agak sulit atau samar. Sehingga para tuli yang melihat kami bisa memahami apa yang kami sampaikan”. Lanjut Pungky.

Jangan kaget kalau di beberapa paragraph di atas saya tulis penderita tuna rungu dengan kata tuli, terdengar kasar memang tapi justru ini yang bisa diterima oleh penderita tuli.

Pungky menjelaskan bahwa “menurut survey dari 1000 penderita tuli, hanya 10 yang suka disebut sebagai tuna rungu”.

1 Tahun Café Deaf FingerTalk

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun