Novel lupus bukan main mengharu-birukan anak-anak muda masa itu. Termasuk saya yang masih berseragam putih abu-abu. Cara berpakaian, gaya rambut dan gaya mengulum permen karet menjadi "rujukan" bagi lelaki ABG kala itu. Tapi selanjutya, selesai. Novel Lupus sampai di situ saja. Orang kemudian melupakannya.Â
Ahmad Tohari tetap menulis dengan kekhasannya sebagai orang yang lahir di desa, yang berkeseharian dekat dengan komunitas pedesaan, yang karya-karyanya lahir dari suasana yang ada di dalamnya, termasuk dalam bentuk cerpen-cerpennya seperti Senyum Karyamin dan Rumah Terang.
Ini yang memberi bobot bagi dirinya, untuk tidak terjebak dalam sastra "pasar". Suatu karya seni yang lebih berorientasi pada ekonomi atau isi kantong. Sehingga bisa merusak bobot dari karya yang dibuatnya. Sebagaimana Cak Nun atau Emha Ainun Nadjib, yang akhirnya memutuskan untuk tidak menulis lagi berbagai surat kabar dan tidak mau tampil di televisi swasta, karena tidak mau berada dalam lingkaran kepentingan pemilik modal. Nyatanya, keduanya masih bisa bekerja dengan karya-karyanya, kendati harus bertahan dengan prinsip yang ia genggam.
Dalam dunia rekaman di Indonesia, nama Ebiet G. Ade membumi sebagai penyanyi balada. Hingga tahun 90-an, ia masih tetap berkarya. Lagu-lagunya masih juga diminati. Album Camelia adalah satu dari karyanya yang mampu menembus pasar musik dalam negeri. Camelia adalah gadis imajinasi sang penulis dan penyanyi itu. Kisah-kisah cintanya dituangkan dalam syair dan lagu. Publik merasakan seolah itu cerita nyata. Maka tidak mengherankan Album Camelia sangat populer hingga dibuat sampai tiga volume.
Tetapi Ebiet G. Ade memutuskan untuk stop di sini, pada album volume 4, karakter imajinasi gadis cantik yang ia buat, yang bernama Camelia ia matikan. Ia tak mau tunduk pada kemauan produser untuk terus menghidupkan si Camelia.
Sejatinya di Kompasiana ini (menurut saya) adalah tempat paling menyenangkan untuk melatih diri mempertahankan prinsip terhadap tulisan-tulisan kita. Kata Mas Felik Tani: Ora HL ora NT No Problem....
Tempat yang akan memperteguh gaya penulisan kita. Wahana menyampaikan pesan-pesan yang barangkali saja bermanfaat untuk pembaca lewat berbagai topik. Sekaligus adalah semak belukar yang harus kita tembus agar kita bisa memiliki kepercayaan diri terhadap tulisan kita karena dibaca orang lain. Kita harus siap dicueki kala kita pertama gabung dan posting artikel. Gagap pada kala awal memberi komentar dan vote terhadap tulisan orang lain.
Bahkan, ada kalanya bisa terjebak dalam polemik dengan komentar-komentar orang lain. Wis, pokoknya di Kompasiana ini ada ribuan karakter yang siap membesarkan kita, mendewasakan kita dan di suatu saat nanti "kangen" karena tulisan-tulisan yang kita buat. Tapi harus tetap waspada, kecerobohan kita dalam menulis bisa menjadi sasaran tembak. Kita bisa dengan mudah menghapusnya, namun tidak bisa dengan mudah menghapus yang sudah menjadi memori pembacanya.Â
Ada kalanya, menjadi Kompasianer akan cemburu dengan popularitas Pak Dhe Kartono. Tapi saya sarankan, cemburunya cukup "seupil" saja. Perkara ia sering muncul di Headline ataupun Nilai Tertinggi, itu sudah menjadi galibnya. Tidaklah karena hal itu, kita lantas menjadi berpikir untuk meminta Pak Dhe Kartono absen menulis selama satu bulan. Duduk manis, membaca dan cukup kasih vote atau komentar saja. Ini bisa bikin (hihi) daerah "V" beliau jadi gatal-gatal. Konon, PdK punya tatto berletter V di bawah ketiaknya, lho. Kasihan kan?
Pak Dhe Kartono itu sudah menjadi puncak "peradaban" Kompasiana. Ketenarannya sudah mampu menembus lapisan atmosfir, hingga ketidakhadirannya di Kompasiana justru akan mengakibatkan turbulansi yang berdampak luas.  Puluhan ribu Kompasianer bisa mogok menulis. Admin jadi tidak ada pekerjaan. Ujungnya, sponsor menarik diri untuk memasang iklan. Karena mereka pasti bertanya, "KOK SEPI?"