Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Popularitas

29 Juli 2015   08:20 Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:21 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Kompas Minggu pada halaman 2 pernah menyajikan wawancara dengan Warkop DKI.  Itu sekitar tahun 1986, pokoknya saya masih SMA.  Tetapi ada sebuah pertanyaan dari Kompas yang sampai sekarang "nancap" dalam ingatan.  Kenapa Warkop cuma membuat film dua buah setahun?

Dono menjawab singkat,"Itu untuk menjaga popularitas". 

Entah sekedar bercanda atau bukan, jawaban Dono itu sangat realistis, setidaknya untuk masa itu.  Warkop hanya menyajikan dua film bioskop pada dua momen yang  memberi peruntungan bagi film-film mereka.  Saat Lebaran dan tahun baru masehi. 

Semua orang yang dulu pernah melihat kejayaan Warkop tahu tentang hal itu.  Bagaimana terbirit-biritnya masyarakat bioskop untuk bisa menonton film terbaru mereka.  Rela antri,  berdesakan dan bersimbah keringat. Membaca judulnya saja sudah lher..........  Apalagi menontonnya! Belum gambar perempuan-perempuan seksi yang mendampingi Warkop terpajang dalam berbagai pose.  Itu membuat semua yang merasa laki-laki ABG sedikit lebih dewasa.  Dan pria yang mulai menua  berasa muda kembali.

Warkop sudah punya pasar, warkop "mungkin" sudah mengukur pesaing pada kala itu.  Mungkin istilah dalam manajemen strategi disebut SWOT Analysis, mereka melakukannya.  Maka hanya dengan dua buah film per tahun, Warkop bisa berjaya hingga tahun 90-an.

Mungkinkah jika setahun mampu menghasilkan lebih banyak  dari itu membuat Warkop tenggelam?  Entahlah, karena belum pernah terjadi.  Tetapi mungkin, yang dimaksud oleh warkop dengan menjaga popularitas adalah agar masyarakat justru tidak jenuh dengan kemunculannya.

Hanya dengan memanfaatkan dua momen besar itu, menjadikan Warkop dinanti.  Apalagi kelucuan yang akan dimunculkan dan siapa gadis-gadis seksi yang akan mencuat sebagai bintang film di kemudian waktu.  Begitulah tanda tanya besar yang ada di benak para pecintanya. 

Dan anehnya, sampai sekarang film-film lawas Warkop masih tayang di berbagai stasiun televisi swasta.  Itu menunjukkan bahwa minat masyarakat terhadap hiburan ala Warkop masih ada.  Yang mengherankan pula, kendatipun sudah berulang kali tayang, tetap saja yang menyaksikannya masih bisa tertawa.  Warkop benar-benar "somethings"!

Demikian halnya dengan  Ahmad Tohari, sang novelis.  Karyanya tidak "seabreg".  Tapi kekuatan pada karyanya yang ia tulis memiki pesona tersendiri bagi pecinta sastra.  Taruhlah novel yang sangat populer Ronggeng Dukuh Paruk yang diterbitkan pada tahun 1982.   Novel ini sudah beberapa kali cetak ulang dan diangkat ke dalam bentuk layar lebar dengan judul Sang Penari.  Bahkan, cetakan terjemahan dalam berbagai bahasa seperti Jepang dan Inggris sudah ada.  Bahkan beberapa waktu lalu ke dalam bahasa Jerman.

 

Setidaknya, lebih dari dua puluh tahun novel ini masih tetap diminati, tidak hanya dibaca, tetapi menjadi kajian sastra dari berbagai kalangan dalam dan luar negeri.  Teman saya pernah berbincang langsung dengan Ahmad Tohari di rumahnya Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah.  Ia katakan, dibandingkan dengan novel LUPUS, bukunya tidak ada seperkilonya karya Hilman Hariwijaya, yang mulai populer di pertengahan era delapan puluhan.

Novel lupus bukan main mengharu-birukan anak-anak muda masa itu.  Termasuk saya yang masih berseragam putih abu-abu.  Cara berpakaian, gaya rambut dan gaya mengulum permen karet menjadi "rujukan" bagi lelaki ABG kala itu.  Tapi selanjutya, selesai.  Novel Lupus sampai di situ saja.  Orang kemudian melupakannya. 

Ahmad Tohari tetap menulis dengan kekhasannya sebagai orang yang lahir di desa, yang berkeseharian dekat dengan komunitas pedesaan, yang karya-karyanya lahir dari suasana yang ada di dalamnya, termasuk dalam bentuk cerpen-cerpennya seperti Senyum Karyamin dan Rumah Terang.

Ini yang memberi bobot bagi dirinya, untuk tidak terjebak dalam sastra "pasar".  Suatu karya seni yang lebih berorientasi pada ekonomi atau isi kantong.  Sehingga bisa merusak bobot dari karya yang dibuatnya.  Sebagaimana Cak Nun atau Emha Ainun Nadjib, yang akhirnya memutuskan untuk tidak menulis lagi berbagai surat kabar dan tidak mau tampil di televisi swasta, karena tidak mau berada dalam lingkaran kepentingan pemilik modal.  Nyatanya, keduanya masih bisa bekerja dengan karya-karyanya, kendati harus bertahan dengan prinsip yang ia genggam.

Dalam dunia rekaman di Indonesia, nama Ebiet G. Ade membumi sebagai penyanyi balada.  Hingga tahun 90-an, ia masih tetap berkarya.  Lagu-lagunya masih juga diminati.  Album Camelia adalah satu dari karyanya yang mampu menembus pasar musik dalam negeri.  Camelia adalah gadis imajinasi sang penulis dan penyanyi itu.  Kisah-kisah cintanya dituangkan dalam syair dan lagu.  Publik merasakan seolah itu cerita nyata.  Maka tidak mengherankan Album Camelia sangat populer hingga dibuat sampai tiga volume.

Tetapi Ebiet G. Ade memutuskan untuk stop  di sini, pada album volume 4, karakter imajinasi gadis cantik yang ia buat, yang bernama Camelia ia matikan.  Ia tak mau tunduk pada kemauan  produser untuk terus menghidupkan si Camelia.

Sejatinya di Kompasiana ini (menurut saya) adalah tempat paling menyenangkan untuk melatih diri mempertahankan prinsip terhadap tulisan-tulisan kita.  Kata Mas Felik Tani: Ora HL ora NT No Problem....

Tempat yang akan memperteguh gaya penulisan kita.  Wahana  menyampaikan pesan-pesan yang barangkali saja bermanfaat untuk pembaca lewat berbagai topik.  Sekaligus adalah semak belukar yang harus kita tembus agar kita bisa memiliki kepercayaan diri terhadap tulisan kita karena dibaca orang lain.  Kita harus siap dicueki kala kita pertama gabung dan posting artikel.  Gagap pada kala awal memberi komentar dan vote terhadap tulisan orang lain.

Bahkan, ada kalanya bisa terjebak dalam polemik dengan komentar-komentar orang lain. Wis, pokoknya di Kompasiana ini ada ribuan karakter yang siap membesarkan kita, mendewasakan kita dan di suatu saat nanti "kangen"  karena tulisan-tulisan yang kita buat.  Tapi harus tetap waspada, kecerobohan kita dalam menulis bisa menjadi sasaran tembak.  Kita bisa dengan mudah menghapusnya, namun tidak bisa dengan mudah menghapus yang sudah menjadi memori pembacanya. 

Ada kalanya, menjadi Kompasianer akan cemburu dengan popularitas Pak Dhe Kartono.  Tapi saya sarankan, cemburunya cukup "seupil" saja.  Perkara ia sering muncul di Headline ataupun Nilai Tertinggi, itu sudah menjadi galibnya.  Tidaklah karena hal itu, kita lantas menjadi berpikir untuk meminta Pak Dhe Kartono absen menulis selama satu bulan.  Duduk manis, membaca dan cukup kasih vote atau komentar saja.  Ini bisa bikin (hihi) daerah "V" beliau jadi gatal-gatal. Konon, PdK punya tatto berletter V di bawah ketiaknya, lho.  Kasihan kan?

Pak Dhe Kartono itu sudah menjadi puncak "peradaban" Kompasiana.  Ketenarannya sudah mampu menembus lapisan atmosfir, hingga ketidakhadirannya di Kompasiana justru akan mengakibatkan turbulansi yang berdampak luas.   Puluhan ribu Kompasianer bisa mogok menulis. Admin jadi tidak ada pekerjaan.  Ujungnya, sponsor menarik diri untuk memasang iklan.  Karena mereka pasti bertanya, "KOK SEPI?"

 

______Oenthoek Cacing-Bumi Cahyana, 29 Juli 2015

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun