Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kenikmatan Seks Itu (Bukan) Tabu

6 November 2019   07:49 Diperbarui: 6 November 2019   22:47 20709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu bagian terluar relief di kuil Khajuraho, India, yang menunjukkan berbagai bentuk persetubuhan. | Sumber Foto: Unsplash by Utkarsh Singh

Menurut pemerintah Aceh, setelah dihukum cambuk M akan dikeluarkan dari kepengurusan MPU karena telah merusak citra ulama (BBC Indonesia).

Tindakan ini dapat dimengerti sebagai konsekuensi sistem. Hukum selayaknya ditegakkan karena telah terjadi dalam tataran praksis. Tetapi soal bahwa tindakan itu sudah benar dan bagus? Bijakkah kita jika mengamininya begitu saja tanpa ada upaya membongkar kuasa?

Seorang pengamat hukum Islam dari UIN Ar Raniry, Irwan Abady, yang diwawancarai BBC Indonesia mengatakan bahwa hukuman cambuk untuk anggota MPU itu bukanlah cerminan penegakan hukum yang "tajam ke atas" sebab mereka bukan pengambil kebijakan.

Beda cerita misalnya ketika yang melanggar itu politikus atau ulama besar seperti wakil bupati. Dampak kasus M itu hanya berpengaruh pada nama baik institusi.

Pendapat Irwan ada benarnya. Tapi menurut saya, kita tak boleh serta-merta abai melihat relasi kuasa di sana. Apa yang terjadi pada M di Aceh dan Pieter di Hindia Belanda menunjukkan adanya keretakan sistem, meski itu hanya disebut sebagai "citra yang terluka" atau "nama yang tercemar" atau "kehormatan yang tercoreng". Tetap saja, ada semacam gempa kecil yang dialami penguasa.

Saya khawatir jika dalih "pemerintah sudah menegakkan hukum tak pandang bulu" itu kita terima mentah-mentah, yang terjadi justru tergelincir pada pengultusan heroisme. Tentu ini berbahaya, sebab kebenaran lain bisa tertutup kabut heroisme yang memabukkan. Ujung-ujungnya, daya kritis kita jadi tumpul.

Soal heroisme ini saya jadi ingat dengan penafsiran Pram atas kisah Nyi Rara Kidul yang dijadikan legitimasi kekuasaan Mataram. Saya ingin loncat kepada kisah ini sebab masih ada kaitannya dengan topik kekuasaan dan seksualitas.

Menurut Pram, mitos Ratu Kidul hanyalah cara untuk menutupi kekalahan Sultan Agung ketika menyerang Batavia dan kegagalan menguasai jalur perdagangan internasional di Laut Jawa pada abad ke-17 (Sunjayadi, hal. 180).

Untuk menutupi itu, Sang Raja menciptakan mitos Ratu Kidul, "Ini lho, meski Mataram kalah, masih ada sesosok Dewi yang punya kuasa di laut Selatan--termasuk kuasa makhluk halus di atas tanah Jawa." Kekalahan dan keretakan sistem dibungkus dengan heroisme semu.

Terhadap mitos Ratu Kidul, saya membencinya sekaligus mengaguminya. Benci karena imaji saya atas sosok ini selalu terpatri pada film-film horor dangkal yang diperankan Suzanna. Di sisi lain, saya mengaguminya dalam pemaknaan atas spiritualitas Timur, terutama spiritualitas Jawa.

Selain penafsiran dari Pram, saya juga tertarik dengan penafsiran Ayu Utami di dalam novelnya, Bilangan Fu. Menurut Ayu, kisah Ratu Kidul yang selama ini dibaca melalui Babad Tanah Jawi merupakan representasi dari ketegangan dan tarik-menarik antara kepercayaan kuno dan Hindu pada masyarakat Jawa dengan agama Islam yang datang belakangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun