Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kenikmatan Seks Itu (Bukan) Tabu

6 November 2019   07:49 Diperbarui: 6 November 2019   22:47 20709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada isu yang tak biasa soal hukuman cambuk di Aceh akhir bulan kemarin (31/10). Pasalnya, seorang laki-laki anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) berinisial M kedapatan berduaan dengan seorang perempuan berinisial N yang bukan muhrimnya di dalam mobil.

Kasus ini tak biasa. BBC Indonesia menyebut bahwa sejak hukum qanun di Aceh diberlakukan pada tahun 2005, ini adalah pertama kalinya seorang pemuka agama jadi terpidana. Malahan, Tribun Medan memilih kata-kata "senjata makan tuan" sebagai judul beritanya.

M dan N ditangkap Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (pengawas pelaksanaan syariat Islam Aceh). Keduanya dijatuhi hukuman cambuk. M dicambuk sebanyak 28 kali, sementara N  23 kali.

Pada tahun 1627, kasus yang serupa itu pernah terjadi di Hindia Belanda, tepatnya di Batavia. Saat itu Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memperoleh titipan dari Jacques Specx untuk menjaga Sara Specx, putri kandungnya.

Tuan Specx adalah seorang anggota Dewan Hindia sekaligus sahabat J. P. Coen. Ia berharap keluarga Coen bisa mengasuh putrinya dengan baik selama dirinya pulang ke Belanda selama beberapa tahun.

Tapi celaka, pada tahun 1629 Coen gagal memenuhi amanat Specx. Sara Specx yang saat itu berusia 12 tahun (usia yang bisa dikatakan menjelang matang di abad ke-17) tertangkap basah bermesraan dengan kekasihnya, Pieter Jacobszoon Cortenhoeff (seorang serdadu bawahan berusia 16 tahun yang menjaga kastil Batavia) di rumah Coen.

Skandal itu membuat Coen malu dan nama baiknya tercemar. Ia marah dan merasa gagal sebagai pemimpin untuk memberi teladan pada rakyat koloninya. Coen adalah seorang yang sangat puritan dan taat pada ajaran Calvinis. Meski Sara adalah putri dari teman baiknya, ia ingin hukum tetap ditegakkan.

Maka Pieter dijatuhi hukuman pancung, sementara Sara dihukum dengan menyaksikan hukuman kekasihnya. Sara juga ditelanjangi, dicambuk, dan dijadikan tontonan di depan khalayak.

Kisah skandal di Batavia itu saya temui dalam buku (Bukan) Tabu di Nusantara (Achmad Sunjayadi, 2018). Nyaris bersamaan saat merampungkan bacaan ini, saya juga menemui berita soal hukuman qanun Aceh di atas. Menarik sekali, pikir saya.

Semula, niatnya ingin mengulas buku Sunjayadi ini saja. Tapi gara-gara ada kasus qanun yang tak biasa itu, pikiran saya jadi berkelana jauh. Contoh dua kasus itu memantik ruang kontemplatif saya. Saya tergoda untuk mengolah kembali judul buku karangan Sunjayadi menjadi judul tulisan ini, saya pikir ini semacam buah reflektif.

Kembali pada dua contoh kasus tadi. Memang konteks hukum pada kasus yang pertama itu ada dalam frame agama Islam, sedangkan yang satunya lagi agama Kristen. Namun, kedua kasus itu punya kemiripan dalam hal sistem. Kedaulatan hukum yang dibuat pemerintah harus berdiri di atas segalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun