Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"The Cleaners", Benang Kusut dan Kerja Suram Moderator Konten Media Sosial

7 Oktober 2019   01:32 Diperbarui: 7 Oktober 2019   18:50 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Cleaners | Foto: sundance.org

Block dan Riesewieck kemudian menyorot latar tempat pembuangan sampah di Manila. Moderator perempuan yang kedua ini bercerita tentang pesan ibunya; ia harus bersekolah agar tak bernasib seperti pemulung sampah. 

Ia takut sekali jika hidupnya berakhir sebagai pemulung. Menurutnya, gaji di Filipina sangat kurang dan bekerja sebagai moderator konten seperti memberi harapan baru.

Saya memaknai scene itu secara tersirat, seolah-olah sutradara ingin bilang bahwa nyaris tak ada beda antara bekerja sebagai moderator media sosial yang berkantor di gedung pencakar langit dengan pemulung sampah betulan. Keduanya sama-sama berurusan dengan "sampah".

Gambaran itu jadi semacam alegori atas tragedi yang (harusnya) menampar era kecanggihan teknologi. Dalam bahasa lain, moderator sosial media adalah buruh-kasar dalam wajah modernitas yang selama ini jadi aib dan harus disembunyikan.

Tugas mereka membersihkan sampah dan kotoran media sosial tanpa dibekali dengan pengetahuan yang cukup, entah itu kekritisan ala jurnalistik, keterampilan bahasa, maupun wawasan budaya negara lain yang kelak akan terkena imbasnya. 

Hak sebagai pekerja berbanding terbalik dengan risiko fatal yang harus mereka tanggung; trauma berkepanjangan dan berbagai kemungkinan penyakit mental.

Laporan Washington Post pada Juli 2019 lalu mengatakan, dibandingkan dengan cabang outsourching lainnya di AS atau India yang menyaring konten media sosial dalam negerinya sendiri, moderator di Filipina mengevaluasi gambar, video, dan unggahan dari seluruh dunia.

Kondisi itu sangat rentan sebab mereka hanya menguasai bahasa Tagalog dan Inggris. Mereka mengandalkan Google Translate--yang sejatinya tak bisa diandalkan--untuk meninjau 10 bahasa yang tak dikuasai betul. Belum lagi, konteks budaya negara lain yang tak mereka pahami. Ini membuat mereka semakin tertekan.

Perusahaan teknologi raksasa, seperti Facebook, Google, YouTube, Twitter, mengandalakan kerja sama perusahaan outsourching, sebagian yang punya titel "profesional" misalnya Accenture dan Cognizant, untuk menangani "sampah-sampah" yang dihasilkan media sosial. 

Perusahaan outsourching yang bekerja sama dengan Facebook tersebar di 20 negara, termasuk Latvia dan Kenya. Filipina dan India adalah cabang yang paling besar.

Tapi, apakah dengan begitu perusahaan outsourching di AS bisa dikatakan steril dari praktik-praktik kerja yang tak sehat? Jawabannya, tidak juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun