Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Buku dan Televisi, Dua Tembok Pembatas Antara Saya dan Ibu

21 Mei 2019   05:54 Diperbarui: 21 Mei 2019   12:16 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: lithub.com

Saya tak tumbuh dalam keluarga yang melek literasi. Kesukaan saya terhadap aktivitas baca-membaca jadi semacam anomali. Apalagi terhadap obsesi saya yang diam-diam mengoleksi buku, yang bisa berujung pada pertengkaran kecil: "Ngapain sih beliin buku terus? Itu sudah numpuk di kamar," protes Ibu saya.

Sejak saya mengenyam pendidikan tinggi dan memperoleh banyak asupan pengetahuan, saya merasa tercerahkan. Ibarat manusia-manusia yang pernah mengarungi hidup dalam zaman Renaisans. Pengetahuan itu seperti oase, membayar dahaga saya atas pemahaman realitas. Dengan bahagia dan takjub, saya mencintai pengetahuan.

Sejak itu pula saya jadi benci televisi. Benda itu tiba-tiba saja berubah menjijikan. Suaranya yang ngak-ngik-ngok kerap membuat saya jengkel. Manusia-manusia yang terkurung di dalamnya membuat saya muak. Saya tak lagi terhibur ketika menontonnya, tidak seperti dulu saat saya masih kecil dan remaja.

Bagi para intelektual atau orang-orang yang merasa tercerahkan, berdebat secara kritis sepanjang hari tentang kebodohan-kebodohan yang selalu dijejalkan kepada masyarakat melalui televisi--yang biang keroknya tak lain tak bukan para oligark media--adalah suatu keniscayaan. Dan dorongan untuk melawan pembodohan itu pun menjangkit pada diri saya.

Dalam kapasitas seorang macam saya yang waktu itu baru tercerahkan, saya tak henti-hentinya memaki televisi. Di perantauan, saya merasa terbebaskan karena tak ada yang namanya televisi. Tetapi di rumah? Bagaimana mungkin bisa saya melarang Ibu menonton televisi begitu saja dan memberi penghakiman bahwa apa yang dikonsumsi Ibu sehari-hari cuma omong kosong?

Saya ingat betul waktu itu, saya menegur Ibu karena televisi di ruang tengah tak pernah dimatikan hingga subuh. Saya tak pernah nyaman ketika pulang ke rumah mendapati keadaan demikian. Ibu kerap menyalakan televisinya kembali ketika saya matikan, padahal ia sudah setengah terlelap dalam tidur.

Ibu hanya berdalih seperti ini kepada saya, "Abisnya di rumah sepi." Saya tertegun mendengarnya. Sekonyong-konyong saya tertampar. Ah, selama ini Ibu memang kesepian di rumah semenjak saya dan adik pergi merantau ke luar kota. Tak ada yang meramaikan kekosongan rumah selain suara-suara dari televisi.

"Kamu sudah berubah. Sekarang sukanya baca buku. Ngga suka nonton tv lagi," ujar Ibu dengan datar, tanpa memandang ke arah saya. Saya merasa yakin kalau ucapannya itu bukanlah pujian melainkan bentuk protesnya secara halus kenapa-kamu-sudah-berubah.

Benar, sejak kuliah saya banyak berubah. Dan perubahan ini bukan sesuatu yang disenangi Ibu. Saya mulai menyadari, pengetahuan telah memisahkan hubungan kami, yang semula subjek-subjek menjadi subjek-objek. Pengetahuan itu telah membikin jarak antara saya dan ibu, antara buku dan televisi.

Saya jadi mengenangkan peristiwa-peristiwa terdahulu saat kami duduk berkumpul bersama di depan televisi setiap malam, saya dan adik gemar berceloteh sehingga rumah kami selalu ramai. Sekarang kebiasaan itu hilang seiring tumbuhnya kedewasaan antara saya dan adik. Terutama seiring dengan kebencian saya terhadap tayangan-tayangan di televisi yang semakin receh.

Saya jadi teringat sebuah nukilan dalam salah satu Tetralogi Buru, saya lupa yang judulnya apa. Pram melalui tokoh Minke bertutur: "Berbahagialah dia yang tak tahu sesuatu. ... Pengetahuan, perbandingan, membuat orang tahu tempatnya sendiri, dan tempat orang lain, gelisah dalam alam perbandingan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun