Saya iseng mendekati salah satu orang tua yang mengantre disitu, jawabannya sama: gratis, tidak peduli kelasnya apa.
Jadi siapa yang sebenarnya memprotes BPJS ini-itu? Mereka mewakili siapa sebetulnya? Bahkan ada kawan yang kerap mengkritik BPJS (padahal kami dapat BPJS dari kantor) tidak pernah pakai BPJS. Dia pakai asuransi swasta (yang juga disediakan kantor).
Lain hari, ketika saya mengantar anak ke sekolah, saya mampir di mart terdekat, saya antre bayar persis di belakang seorang wanita lansia (yang dipanggil Oma oleh seorang gadis muda).Â
Si Oma sedang ngomel-ngomel karena dia harus membayar 300 ribu untuk BPJS kesehatan dua orang (dia dan anaknya).
"Nih ya, dasar BPJS ancur, 300 ribu saya bayar sekarang, padahal enggak buat ngapa-ngapain, coba tuh, naik terus, manfaatnya dapet kagak!"
"Lho, kan bisa turun kelas Oma, tetap bayarnya sama."
"Ih, ogah, kelas II gitu? ih ogah."
Saya senyum saja, si Oma bilang dia tidak mendapat manfaat apa-apa dari membayar iuran. Mari kita hitung manfaat dari si ibu yang anak gadisnya habis operasi tumor otak.
Si ibu membayar iuran BPJS (sebelum naik) kelas II di 59 ribu rupiah, anggaplah si suami sudah membayar premi untuk si anak dalam setahun penuh 708 ribu rupiah (59 ribu x 12).Â
Ketika si anak tumor otak, berapa total biaya yang seharusnya keluar? Lebih dari 15 juta rupiah, bahkan ada yang puluhan juta rupiah.
Saya yakin, si Oma belum ada di keluarganya yang harus mengalami kejadian seperti keluarga driver ojol tersebut.