Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Supersemar, yang Tersembunyi di Balik Debat

18 Januari 2019   15:01 Diperbarui: 19 Januari 2019   05:45 1157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu ketika kecil, saya sering mencuri dengar pembicaraan antara Ibu dan Ayah di atas CJ 7 kelabu yang setia. Salah satunya adalah keluhan ayah karena gajinya sebagai PNS di Maluku selalu terpotong setiap bulan. Tak jelas benar berapa persen dipotong, tetapi sebagai PNS yang saat itu gajinya tidak seberapa, potongan gaji adalah sebuah musibah. 

Info Ayah, gajinya dipotong sekian persen untuk pengelolaan yayasan. Tepatnya YAMP, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Tapi menurut Ayah, sepertinya bukan hanya untuk YAMP, tapi juga Supersemar dan DAKAB (Dana Abadi Karya Bhakti).

Ada yang bagus dari hasil YAMP, yaitu menuntaskan pembangunan 999 Masjid di Indonesia. Tapi apakah pantas untuk dana yayasan harus memotong hak dari pegawai negeri sipil yang notabenenya adalah pekerja negara? Jika ingin menyumbang, ya dalam bentuk yang wajar, berbentuk sumbangan, infaq atau apalah namanya. Ini yang dinilai Ayah saya dulu bahwa Soeharto telah menyalahi aturan.

Lantas, apakah dana yang diambil dari pemotongan gaji PNS dan militer tadi semata-mata untuk membangun Masjid atau beasiswa? Diduga tidak. Berdasarkan tulisan George Aditjondro yang fenomenal Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (2006), yayasan Soeharto telah jauh melampaui kaidah suatu 'Yayasan'.

Uang yang dihimpun tidak lagi berbentuk kegiatan sosial khas yayasan, namun untuk menghidupi perusahaan. Faktanya Soeharto secara resmi didakwa Jaksa Agung pada 8 Agustus 2000 karena menggelapkan 571 juta dolar AS dari tujuh yayasan yang diketuainya ketika menjabat sebagai presiden. 

Dalam catatan George, trio yayasan DAKAB-Supersemar-Dharmais menguasai saham-saham di perusahaan yang dimiliki oleh Soeharto dan kroninya. Termasuk majalah Gatra, Gedung Granadi, Bank Duta dan salah satu yang terbesar adalah di pabrik kertas, dimana sektor hulu kertas dikuasai oleh kroni lama Soeharto yang paling hebat; Bob Hasan. Melalui tiga PT besar; PT Kiani Kertas, PT Kiani Lestari dan PT Kalimanis Plywood.

Pengejaran dana yayasan Soeharto dimulai sejak September 1998. Persis ketika Soeharto lengser. Dan menghasilkan beberapa hal yang penting. Pertama, pada 7 Desember 1998, dimana Jaksa Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh yayasan Soeharto: Dharmais, Dakab (Dana Abadai Karya Bhakti), Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora dengan kekayaan senilai 4,01 Trilyun rupiah.

Pada 31 Maret 2000 era pemerintahan Gus Dur, Soeharto dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang dipimpinnya, sayang Soeharto keburu meninggal sebelum ketok palu persidangan. 

Era berlanjut hingga era SBY, 28 Oktober 2010, Hakim Agung Harifin Tumpa menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada negara. Sayang terjadi hal konyol kesalahan penulisan angka, yang seharusnya 185 milyar malah ditulis 185 juta. 

Akibat kesalahan konyol itu, eksekusi tidak dapat dilakukan, dan anak-anak Soeharto bisa agak tenang sedikit.

Era Jokowi rupanya jantung kroni Soeharto dibuat berdegup sangat kencang. Jokowi yang diserang begitu rupa dengan fitnah, mampu menghalau dengan ciamik fitnah tersebut. 

Ibarat libero, Jokowi di posisi paling belakang bertugas sebagai penghalau bola terakhir sebelum kiper, termasuk bola fitnah.

Libero bukan hanya bertahan, namun terlibat penyerangan. Libero bisa bermetamorfosis menjadi posisi apa saja. Ini yang mengerikan. Selain pembuktian aset negara kembali ke Ibu Pertiwi, tanpa banyak kata, Jokowi mulai menaikkan efek Supersemar ke permukaan.

Pada 19 Oktober 2017, MA menolak perlawan eksekusi Yayasan Supersemar. Menurut MA, perlawanan eksekusi Yayasan Supersemar nebis in idem. Negara menang! 

Jika ditotal Yayasan Supersemar harus mengembalikan uang negara dengan total 4,3 Trilyun rupiah (dengan kurs 1 USD = Rp 13.500). Yang berhasil ditarik ke Negara baru 241,8 Milyar rupiah. Sisanya? 

Inilah langkah senyap Jokowi sebagai libero. Bola digiring perlahan dari belakang ke tengah, pilihannya dua: akan diumpan ataukah di bawa langsung ke garis gawang.

Jokowi perlu cover karena sisa uang yang harus di kembalikan Supersemar tak main-main, tak kurang dari 4,5 Trilyun rupiah (dengan kurs saat ini). 

Siapa yang paling berdegup kencang jantungnya? Tentunya kroni-kroni dan anak cucu Soeharto. belum lagi incaran Jokowi yang lain; Gedung Granadi dan tanah di Megamendung yang masih terkait dengan yayasan. 

Lalu, kemana lagi? Kembali ke paragraf di atas, salah satu yang terbesar adalah untuk perusahaan kayu yang dikuasai Bob Hasan. Saya ulang, tiga perusahaan kayu tersebut; PT Kiani Kertas, PT Kiani Lestari dan PT Kalimanis Plywood. Termasuk Nusantara Energy dimana Prabowo Subianto menjadi komandannya, seperti di kutip dari wikipedia. 

Dan juga Prabowo sendiri sebagai Jenderal di PT Kiani Kertas (yang berubah nama menjadi PT Kiani Nusantara). Prabowo sebagai direktur seperti yang kita dengar dari wawancara dengan Liputan6 SCTV pada 19 Maret 2004. PT Kiani Nusantara sendiri sudah tidak membayarkan gaji karyawannya semenjak 2014.

Menjadi masuk akal ketika pihak Cendana dan stakeholder-nya kalang kabut, cinta bersemi setiap 5 tahun sekali pun muncul. Deja Vu yang coba diulang. Drama percintaan The Godfather dengan Don Corleone yang telah wafat menjadi latar, dan anak cucunya sebagai wayang utama. 

Inilah benang merah nan kusut yang coba di urai oleh Jokowi. Seorang Solo mlarat yang ironisnya, sukses dengan cara yang sama: Kayu. Dan jalan terbaik bagi Jokowi adalah jalan sunyi nan senyap, dimana saat ini beliau sudah diujung jarum. 

Sayang, penegakan hukum ini tidak di eksplore sama sekali oleh Jokowi di dalam debat tadi malam. Jokowi masih menjaga tata krama dan kromo inggil. Atau yang kedua, biarlah ini menjadi jalan senyap dirinya.

Jika dilapangan sepakbola, Jokowi bisa bermain sebagai apa saja, Jokowi membuat dirinya sebagai target utama. Seperti Franz Beckenbauer yang kerap menjadi incaran tackling lawan. 

Target utama: Jokowi harus cidera, di tandu keluar lapangan, atau yang kedua: kartu merah, seperti yang coba dilakukan oleh Amien Rais.

Namun disisi lain, bola bergerak sesuai kehendaknya, berloncatan perlahan kesana kemari, membangun serangan nan sabar dengan melibatkan seluruh tim, ya Total Football bergerak mencari mangsa, mencekik leher dengan kapas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun