Beberapa bulan kemudian, Rian diperbolehkan pulang. Selama itu, dia menjalani terapi agar bisa berbicara dan berjalan kembali. Selama itu pula, Faris bersama Gilang dan Samuel yang mengetahui kalau Rian sudah kembali dan tengah dirawat di rumah sakit, mereka bertiga rela menempuh jarak ratusan kilometer menuju Kota Zarilton untuk menjenguk Rian. Begitu sampai, dengan heboh mereka bertiga, terutama Gilang dan Samuel yang baru melihat Rian setelah lima tahun lamanya, tak henti-hentinya meledek dan bersenda gurau dengannya. Sudah enam tahun, tapi dua insan tersebut tak berubah sama sekali. Nyebelin, tapi ngangenin. Namun berkat energi positif dari ketiga sahabatnya, Rian makin semangat agar bisa menjalani terapi dengan baik.
Saat ini, Rian tengah duduk di sofa ruang tengah yang empuk. Layar televisi sedang menayangkan renovasi gedung laboratorium yang pernah dilahap habis oleh si jago merah yang sebentar lagi hampir selesai. Rian tertawa kecil begitu melihat Cedric, yah orang itu ternyata masih hidup dengan syarat bekerja di bawah tekanan pemerintah, bersama dengan Harrith sedang ikut membantu para tukang bangunan. Itu sudah menjadi hukuman paling ringan dari hukuman mati. Selama dalam tahap penyembuhan, dia benar-benar dimanjakan oleh Caleb-Alisa. Hanya boleh istirahat dan mengobrol dengan ketiga sahabatnya saat mereka mampir ke apartment. Meskipun dia  masih agak canggung, tapi entah kenapa di satu sisi dadanya berdesir hangat dengan segala perlakuan mereka berdua padanya.
Sore ini, Rian diperbolehkan untuk berziarah ke makam kedua orang tuanya. Sembari membawa seikat bunga segar, dia berlutut lalu meletakkan buket bunga tersebut di depan batu nisan kedua orang tuanya yang dirawat dengan baik, meskipun beberapa lumut sudah mulai merayap kembali. Di belakangnya, Alisa dan Caleb setia menunggu sambil berdiri.
"Ayah, Ibu, sekali lagi terima kasih. Sudah melahirkanku ke dunia ini, meski kejam, tapi aku sangat beruntung dikelilingi oleh orang-orang yang sangat peduli padaku. Aku jadi malu sendiri karena sempat berpikiran buruk tentang mereka," kata Rian sambil terkekeh.
 "Aku memang tidak setampan ayah Caleb atau Samuel, baik hati dan lembut seperti ibu Alisa, ceria dan ramah seperti Faris, atau sesantai Gilang. Tapi aku akan berusaha, menjadi versi terbaik dari diriku. Memang tidak akan mudah dan mungkin beberapa kali akau akan terjatuh. Tapi aku bisa melihatnya, akan selalu ada tangan yang menarikku kembali ke jalan yang seharusnya aku jejaki."
Kemudian, Rian beranjak berdiri, berbalik badan. Tanpa berpikir panjang, sambil tersenyum hangat, dia mengulurkan kedua tangannya. Tanpa aba-aba, dia mulai bersenandung sebuah lagu dari film masa kecilnya.
"Setiap manusia di dunia
Pasti punya kesalahan
Tapi hanya yang pemberani
Yang mau mengakui
Setiap manusia di dunia
Pasti pernah sakit hati
Hanya yang berjiwa ksatria
Yang mau memaafkan"
Meskipun nadanya fals dan sebisanya, lagu tersebut telah tersampaikan dengan baik ke dalam hati sanubari sepasang kekasih itu. Alisa dan Caleb saling berpandangan sejenak, tertawa kecil, lalu dengan gerakan yang sama seperti saat berada di alam bawah sadar Rian, mereka menyambut uluran tangan tersebut. Sekali lagi, Caleb menarik Rian ke dalam pelukannya. Rian hanya terkekeh, dengan kepala yang terbenam dibahu kokoh Caleb. Meresapi kehangatan di sana. Alisa tak lama kemudian, ikut bergabung kembali.
Sore itu, menjadi salah satu hari yang tak terlupakan bagi Rian. Di bawah semburat langit jingga, Rian sudah memaafkan Caleb-Alisa, dan dirinya sendiri.
(Tirai merah panggung perlahan tertutup)
----Tamat----
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI