Pria itu terdiam sejenak, merenungi kata-kata sang lebah. Ia merasa sedikit malu karena selama ini hanya mengikuti arus, menebang dan merusak tanpa berpikir panjang. "Tapi ... bagaimana jika bunga-bunga itu tak pernah kembali?" tanyanya ragu.
Sang lebah mengepakkan sayapnya perlahan sebelum menjawab, "Selama masih ada harapan, selalu ada kemungkinan . Jika aku pergi, siapa yang akan membantu menyerbukan serbuk sari untuk bunga-bunga yang mungkin tumbuh kembali? Jika aku menyerah, maka kota ini benar-benar akan kehilangan keindahannya.Â
Kata-kata lebah itu membuat si pria berpikir lebih dalam. Mungkin, masih ada kesempatan untuk memperbaiki segalanya. Dengan tekad baru, ia pun mencari cara agar bunga-bunga bisa kembali bermekaran di kota mereka.Â
Beberapa hari kemudian, dia bersama beberapa warga yang masih peduli terhadap lingkungan, memulai gerakan penanaman seribu bunga untuk kota. Awalnya, banyak orang yang mencemooh dan menghina mereka, namun mereka tidak pernah membalas perkataan mereka dan justru semakin gencar memperindah kota dengan bunga-bunga mereka. Sang lebah yang melihatnya, turut membantu menyerbukkan sari-sari bunga ke tempat yang sulit dijangkau oleh manusia biasa. Melihat kegigihan mereka, banyak warga yang terenyuh hatinya dan memutuskan ikut membantu mereka.Â
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Kini, kota yang dulunya gersang dan monoton karena bunga dibabat habis, kini kembali indah dengan bunga-bunga yang bermekaran di seluruh penjuru kota. Warga pun bersuka cita dan sebagai bentuk perayaan, sejak hari itu, diadakan festival bunga setiap menjelang musim semi di sana. Mereka pun hidup bahagia bersama sang lebah.Â
-----
Di luar jendela rumah sakit, daun-daun musim gugur  berjatuhan. Sementara itu, matahari sudah meninggalkan singgasananya di langit, digantikan oleh bulan yang bersinar redup di tengah kabut tipis. Lampu-lampu kota mulai menyala, menerangi jalan yang sepi.
Di dalam kamar rumah sakit yang sunyi, Caleb tengah sibuk berkutat dengan dokumen militer yang menumpuk di meja depan sofa kamar rumah sakit. Masih dengan seragam militernya, dia memutuskan untuk menginap setelah dua minggu terakhir dia harus berada di kantor militer utama di jantung Kota Zarilton. Alisa sudah pulang terlebih dahulu selama tiga hari bolak-balik rumah sakit untuk menjaga Rian. Mereka sudah membeli apartmen untuk sementara waktu tinggal di sana. Kini gilirannya yang menjaga Rian.
Beberapa jam kemudian, dia merenggangkan badannya yang mulai kaki. Dia beranjak berdiri, menghampiri Rian yang masih tertidur pulas, dan duduk di samping ranjangnya. Caleb menghela napas panjang, tapi tidak bisa menyembunyikan sudut bibirnya yang terangkat. "Sudah setahun, dan kamu masih enak-enaknya tidur Rian. Lagi mimpi apa sih?" guraunya, lalu membelai rambut Rian dengan lembut.
Di hadapannya, Rian tidak merespon. Suara mesin monitor jantung yang terdengar, berdetak pelan dan teratur. Napasnya naik turun dengan bantuan alat medis. Caleb tetap setia duduk, menatap wajah putranya yang masih tertidur itu.
Tiba-tiba, jari-jari Rian bergerak sedikit. Sebuah isyarat kecil, nyaris tak terlihat, namun cukup untuk membuat Caleb terperanjat. Harapan kembali menyala di hatinya. "Rian ... kamu bisa dengar aku?" bisiknya, menggengam tangannya erat.