Malam mulai larut. Langit yang gelap kini menyisakan sedikit cahaya bintang-bintang yang samar. Udara dingin semakin menusuk, uap napas mengepul di udara setiap kalo mereka bernapas. Salju mulai menebal menutupi tanah. Angin musim dingin berembus pelan, membawa tanah beku dan keheningan yang mencekam.
Ya, keadaan Rian dan Harrith masih terdesak. Sementara pasukan musuh perlahan mulai mendekati mereka berdua, bersama seorang pemuda berambut merah daun maple tadi. Wajahnya tetap tenang dengan senyuman yang lama-lama menjengkelkan bagi Rian, meskipun ia sudah dua jam berdiri menanti mangsanya.
"Kau ada rencana, Harrith? Meskipun kamu tidak bisa merancang strategi matang, dua jam yang lalu," bisik Rian, bersiap nengeluarkan sosok monsternya.
Harrith menyeringai. "Memang. Jadi lihatlah sejenak, dan tiru Master Harrith ini!"
Tepat di ujung ucapan sedikit narsis dari Harrith, pertempuran pun dimulai. Mantelnya tiba-tiba berkibar, dan dari arah bawah mendadak di permukaan salju muncul sebuah tanda yang mirip seperti salib, namun perbedaannya yang ini berwarna biru terang yang menyala, hingga Rian harus menyipitkan mata karena sangat terang. Ajaibnya, berkat hal itu pergerakan musuh mendadak melambat. Sedetik kemudian, sebuah energi sihir yang berwarna senada berkumpul di kedua tangan Harrith, dan dia dengan lincah bergerak maju-mundur, menyamping kanan-kiri sembari melempar bola-bola sihir berwarna biru sedikit keunguan. ZAP! ZAP! Sebagian besar pasukan musuh pun terpental ke belakang, termasuk pemuda berambut daun maple itu.
Sisa pasukan musuh mencoba menembak Harrith, namun Rian bergerak lebih lincah dari mereka semua. Dengan wujud setengah Kay-nya, dia memukuli badan musuh hingga rempah jimpah. BUM! BUM! Hingga beberapanya ada yang mengenai batang pohon yang tebal dan tak sadarkan diri dengan posisi duduk bersandar.
"Ayo pergi!" Harrith dengan kecepatan luar biasa, menghampiri Rian yang baru saja memukul mundur musuh, mencengkeram bahunya.
TING! Suara misterius seperti lonceng kecil terdengar. Sedetik kemudian, mereka berdua sudah di tempat yang cukup jauh dari tempat kejadian perkara. Kaki mereka berdua menapak perlahan di atas tumpukan salju.
"Kerja bagus, Harrith! Aku bangga punya partner sepertimu!" puji Rian dengan mata berbinar kepadanya.
Harrith membusungkan dadanya sambil tersenyum tipis. "Tidak masalah! Kau juga tahu harus bertindak seperti apa, Rian."
Pertama kalinya Rian dipanggil namanya oleh Harrith, membuat dirinya tersenyum hangat. Dia lalu meluruskan pandangannya. "Kita sudah semakin dekat dengan Kota Teras. Aku akhirnya mengingat pernah ke hutan ini saat mengikuti perkemahan tahunan saat SMP. Mungkin sekitar 60 km lagi, kita akan sampai," kata Rian dengan secercah harapan di wajahnya.
Harrith mengangguk takzim. "Bagus, ternyata lebih cepat dari perkiraanku," ujarnya. "Ayo, kita lanjutkan perjalanannya."
Harrith berlari lebih dulu, disusul oleh Rian. Mantel mereka berdua berkibar karena terpaan angin musim dingin.
Sementara itu, masih di TKP tadi. Beberapa pasukan bersenjata mengaduh pelan dan bahu membahu membantu para rekannya, kecuali pemuda tadi.
ARGH!
Dia berteriak frustasi sembari memukuli batang pohon terdekat hingga membuatnya hampir tumbang. Kocaknya, beberapa pasukan yang tidak terluka parah, malah menyangga batang pohon tersebut, bukannya menenangkan pemimpin mereka.
"Bos, tenangkan dirimu! Kita pasti bisa menemukan mereka nanti."
Salah seorang pasukannya, yang sedikit lebih tingggi darinya, menghampiri dan mengelelus bahunya. Pemuda tersebut menghela napas gusar. "Maaf, aku terlalu terbawa emosi tadi," katanya dengan menyesal.
"Lalu, bagaimana ini? Kita langsung melapor pada beliau?" tanya yang lain yang dibalas oleh rekannya dengan mengangkat bahu singkat.
Dari arah belakang, seseorang yang mengenakan jas lab menghampiri mereka. Mereka tidak panik, tapi justru mulai membersihkan TKP agar tidak terlalu dicurigai oleh pihak lain. Si pemuda yang masih berusaha menenangkan dirinya itu tidak panik, dan tanpa menoleh dia berkata, "Maafkan aku. Mereka lolos, Kolonel George," kata pemuda tersebut sambil menundukkan kepala.
Pria berbadan tegap yang dipanggil 'Kolonel George' itu hanya tersenyum dan menepuk kepalanya pelan. "Tidak apa-apa. Kau sudah cukup bagus tadi, Letnan Kanada. Berkatmu, kita jadi tahu pergerakan mereka selanjutnya," katanya dengan hangat.
Kanada, pemuda berambut merah daun maple itu sekali lagi menghela napas gusar, lalu mengangguk. "Mereka berlari ke arah utara, kemungkinan besar Kota Teras. Kau yakin kita harus melihat dulu keadaannya?" jelasnya sebelum bertanya.
George mengangguk. "Karena aku juga terkejut, si Cedric itu sudah kabur entah ke mana setelah digebrek oleh tim mu yang lain, barusan dia pergi. Untungnya laboratorium itu tidak dia bakar, jadi kita bisa langsung mengamankan bukti yang ada. Juga, beberapa korban eksperimen lainnya hendak ditangani oleh Nona Amber, dan dalam perjalanan ke laboratorium khusus," terangnya. "Malam ini, kita kembali saja ke markas utama. Beberapa serigala liar sudah mulai mengintai."
Kelimci berbulu putih itu berangsur pergi, karena hipnotis-nya diakhiri oleh wanita berambut perak yang masih berada di sebuah ruangan bersama beberapa hewan yang sedang meringkuk di sekitarnya.
Sekali lagi dia menghela napas lega dan mengelus kepala seekor rusa yang sedang nyaman meringkuk di pinggirnya. "Syukurlah dia dan rekannya selamat ..."
>>>>>>
TOK! TOK! TOK!
"Masuk saja, pintu tidak dikunci."
Pemilik suara bariton yang sedang berkutat dengan berbagai tumpukan dokumen yang menggunung dan kantong matanya yang mulai menghitam, tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya itu.
Kemudian, Kolonel George bersama Letnan Kanada masuk secara bergantian, menutup pintu perlahan, dan berdiri di hadapan atasan mereka secara beriringan. "Lapor, Jenderal. Aku berhasil menemukan mereka, dan sesuai perintahmu ... aku membiarkan mereka kabur," kata Letnan Kanada dengan suara yang agak nggak ikhlas.
Kolonel George tertawa kecil dan menimpali. "Yah, setidaknya tidak ada yang tewas di misi kali ini 'kan?"
Jenderal tersebut tersenyum mendongak dan mulai memusatkan perhatian pada mereka berdua. "Terima kasih atas kerja kerasmu, Letnan Kanada. Kau boleh liburan selama dua minggu setelah menyelesaikan dokumen yang kuberikan di ruang kerjamu. Bisa tidak?" pintanya sambil menopang dagu di atas punggung tangannya.
Letnan Kanada yang awalnya murung kini matanya nampak berbinar, lalu memberi hormat dengan wajah yang ceria. "Siap, laksanakan, Jenderal!" katanya dengan riang. "Tapi, apa tidak apa-apa kita seperti ini? Maksudku musuh mungkin sudah dua langkah di depan kita, lho?" tanyanya kemudian, yang entah kenapa diangguki oleh George.
Jenderal menyeringai lebar. "Memang, dan justru itu rencanaku. Soalnya, kalau kalian tidak mencegahku, aku bisa menghadapi mereka seorang diri, tapi kalian tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi kan? Khususnya saat ini," ucapnya sambil tersenyum percaya diri.
Jeda sejenak. Kanada dan George yang tidak bergeming sekalipun. Dia menarik napas sejenak, sebelum menatap tajam Kanada dan George. "Jadi, mereka kabur ke mana?"
"Izin menjawab. Aku mendengar Cedric meminta mereka berdua, Rian dan Harrith, menuju Kota Teras mencari informan kepercayaannya, dan memberi waktu sekitar lima bulan dari sekarang. Kemungkinan mereka sudah setengah jalan karena sepertinya Harrith menggunakan kekuatan teleportasi dan mempersingkat jarak serta waktu ke sana," terangnya. "Ngomong-mgomong, Cedric pintar juga ya? Karena dia seperti mengetahui bahwa target incarannya sedang tidak berada di sana, padahal pemilu sebentar lagi."
Jenderal mengangguk takzim. "Tidak heran dia menjadi direktur utama laboratorium itu. Tapi justru itu yang sudah kita remehkan hingga terjadi peristiwa yang seperti itu."
Lengang, dan hanya suara dentingan jam hologram dinding yang mengisi keheningan tersebut. George menghela napas panjang. "Jenderal, masalahnya Rian, bocah berkulit sawo matang itu sudah sebagian besar mengetahui masa lalunya, dan aku memaklumi kalau dia menjadi berada di jalan yang salah. Mungkin saja, dia benar-benar dendam kepada Anda sekarang, Jenderal Caleb."
Ya, orang yang sedari tadi diajak bicara oleh mereka berdua adalah Caleb. Tidak perlu diberitahu, bisa saja Rian sudah benar-benar benci setengah mati padanya. Tapi, menurutnya itu harga yang pantas di dapatkan olehnya, setelah membantai keluarga besarnya hingga tak tersisa. Di malam itu, di mana diberi judul oleh atasannya saat itu dengan nama, 'Pembersihan Berdarah.' Kini, Caleb sebenarnya terus dibayangi rasa bersalah akibatnya.
"Pembersihan Berdarah," kata Kanada yang mengejutkan dua orang di dekaatnya. Matanya bertemu dengan Caleb. "Jangan pikir kalau kau menanggung semuanya, Caleb. Aku, dan beberapa pasukan lain yang tergabung dalam misi itu juga masih merasakan hal yang sama. Kau ... tidak sendirian memikul semua ini, Comrade," tambahnya.
Beberapa saat dalam keheningan yang mencekik, kemudian Caleb meminta Kanada untuk segera keluar yang langsung dituruti. Menyisakan Caleb dengan George, dengan permintaan untuk dibawakan camilan kesukaannya agar pikiran yang sempat kusut segera diencerkan. Sebelum pergi, George sempat berkata. "Aku tidak bermaksud ikut campur masalahmu, tetapi cepat atau lambat Rian harus mengetahui kebenarannya, Caleb. Bagaimanapun reaksinya nanti."
Pintu ditutup, menyisakan keheningan yang menyesakkan bagi Caleb. Tidak lama kemudian, sebuah suara bergema di kepalanya, hangat dan seperti melodi kedamaian di pagi hari. "Sayang? Kamu tidak apa-apa? Pekerjaanmu lancar?"
Caleb menghela napas panjang, kesekian kalinya. "Ya, Alisa. Terima kasih sudah menghubungiku. Bagaimana denganmu?"
"Aku? Lancar saja! Pecahan Orb yang lain hampir semuanya terkumpul, jadi jangan khawatir. Tapi... Aku melihat pemandangan aneh sekaligus mengejutkan?"
Tubuh Caleb menegang sesaat. "Apa itu?"
"Um ... Hanya perasaanku saja, atau aku 'melihat' seseorang seperti Rian bersama seseorang yang berasal dari Ras Kucing mencoba melawan pasukan bersenjata. Mereka menang dan kabur entah ke mana, sih. Terlebih lagi, dia sudah bukan seperti Rian ... Apa yang sebenarnya terjadi?"
Caleb memejamkan mata. "Alisa, Rian ... sedang mencoba mencariku demi mengetahui kebenarannya. Dia sudah tahu kalau kita pergi dari rumah sejak sepuluh tahun yang lalu," terangnya sembari kembali berkutat dengan tumpukan dokumen.
"Yah, kamu tidak sendirian dalam menanggung beban ini, Caleb. Aku boleh meminta sesuatu? Misalnya saja, kalau kamu dan  Rian harus 'bertengkar', tolong jangan terlalu menyakitinya, ya? Karena aku tidak sengaja melihat, matanya kosong. Binar-binar di matanya sudah redup."
Bersambung>>>
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI