Letnan Kanada yang awalnya murung kini matanya nampak berbinar, lalu memberi hormat dengan wajah yang ceria. "Siap, laksanakan, Jenderal!" katanya dengan riang. "Tapi, apa tidak apa-apa kita seperti ini? Maksudku musuh mungkin sudah dua langkah di depan kita, lho?" tanyanya kemudian, yang entah kenapa diangguki oleh George.
Jenderal menyeringai lebar. "Memang, dan justru itu rencanaku. Soalnya, kalau kalian tidak mencegahku, aku bisa menghadapi mereka seorang diri, tapi kalian tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi kan? Khususnya saat ini," ucapnya sambil tersenyum percaya diri.
Jeda sejenak. Kanada dan George yang tidak bergeming sekalipun. Dia menarik napas sejenak, sebelum menatap tajam Kanada dan George. "Jadi, mereka kabur ke mana?"
"Izin menjawab. Aku mendengar Cedric meminta mereka berdua, Rian dan Harrith, menuju Kota Teras mencari informan kepercayaannya, dan memberi waktu sekitar lima bulan dari sekarang. Kemungkinan mereka sudah setengah jalan karena sepertinya Harrith menggunakan kekuatan teleportasi dan mempersingkat jarak serta waktu ke sana," terangnya. "Ngomong-mgomong, Cedric pintar juga ya? Karena dia seperti mengetahui bahwa target incarannya sedang tidak berada di sana, padahal pemilu sebentar lagi."
Jenderal mengangguk takzim. "Tidak heran dia menjadi direktur utama laboratorium itu. Tapi justru itu yang sudah kita remehkan hingga terjadi peristiwa yang seperti itu."
Lengang, dan hanya suara dentingan jam hologram dinding yang mengisi keheningan tersebut. George menghela napas panjang. "Jenderal, masalahnya Rian, bocah berkulit sawo matang itu sudah sebagian besar mengetahui masa lalunya, dan aku memaklumi kalau dia menjadi berada di jalan yang salah. Mungkin saja, dia benar-benar dendam kepada Anda sekarang, Jenderal Caleb."
Ya, orang yang sedari tadi diajak bicara oleh mereka berdua adalah Caleb. Tidak perlu diberitahu, bisa saja Rian sudah benar-benar benci setengah mati padanya. Tapi, menurutnya itu harga yang pantas di dapatkan olehnya, setelah membantai keluarga besarnya hingga tak tersisa. Di malam itu, di mana diberi judul oleh atasannya saat itu dengan nama, 'Pembersihan Berdarah.' Kini, Caleb sebenarnya terus dibayangi rasa bersalah akibatnya.
"Pembersihan Berdarah," kata Kanada yang mengejutkan dua orang di dekaatnya. Matanya bertemu dengan Caleb. "Jangan pikir kalau kau menanggung semuanya, Caleb. Aku, dan beberapa pasukan lain yang tergabung dalam misi itu juga masih merasakan hal yang sama. Kau ... tidak sendirian memikul semua ini, Comrade," tambahnya.
Beberapa saat dalam keheningan yang mencekik, kemudian Caleb meminta Kanada untuk segera keluar yang langsung dituruti. Menyisakan Caleb dengan George, dengan permintaan untuk dibawakan camilan kesukaannya agar pikiran yang sempat kusut segera diencerkan. Sebelum pergi, George sempat berkata. "Aku tidak bermaksud ikut campur masalahmu, tetapi cepat atau lambat Rian harus mengetahui kebenarannya, Caleb. Bagaimanapun reaksinya nanti."
Pintu ditutup, menyisakan keheningan yang menyesakkan bagi Caleb. Tidak lama kemudian, sebuah suara bergema di kepalanya, hangat dan seperti melodi kedamaian di pagi hari. "Sayang? Kamu tidak apa-apa? Pekerjaanmu lancar?"
Caleb menghela napas panjang, kesekian kalinya. "Ya, Alisa. Terima kasih sudah menghubungiku. Bagaimana denganmu?"