Caleb menoleh sekilas. "Hmm, tadi katanya ada urusan sebentar. Bakal pulang lima belas menit lagi," katanya dengan santai.
Rian mengangguk pelan, tapi entah kenapa perasaanya mulai gelisah. Meskipun terkadang kaku dalam menampilkan emosinya, namun Rian sebenarnya orang yang perhatian dan peka. "Ayah, aku keluar sebentar. Mau beli minuman di minimarket," kata Rian sembari mengenakan jaket yang menggantung di gantungan pintu depan rumah.
Caleb mematikan televisi dan menghampiri Rian yang sedang mengenakan sneaker. "Ayah ikut. Sudah jam sembilan malam, dan Ayah nggak mau dengar kamu keluyuran entah ke mana."
Rian awalnya ingin menolak, tetapi melihat sorot wajah ayahnya yang serius, dia akhirnya mengangguk. Pintu rumah di kunci dan mereka berdua berjalan beriringan di trotoar jalan, disiram oleh temaram lampu-lampu jalan yang bercahaya lembut. Setelah keheningan yang nyaman, Caleb pun membuka obrolan. "Kamu khawatir sama ibu 'kan?"
Rian terdiam, tapi terus berjalan. "Iya, aku mulai overthinking yang nggak jelas soalnya," aku nya. "Ayah juga 'kan?"
Caleb mengangguk. "Tentu saja. Dia istriku, dan sebagai suaminya aku sangat mengkhawatirkannya."
"Jangan terlalu protektif, Yah. Nanti ibu malah menjauh," kata Rian yang mencoba meredakan suasana.
Caleb tersenyum sambil mengendikkan bahu. "Meski begitu, Ayah dan Ibu sudah menikah selama 15 tahun lebih, dan aman-damai saja tuh?"
Rian hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Mengesampingkan hal itu sebentar, dia sedang bingung memilih minuman yang ada di lemari pendingin. Antara varian susu, kola atau jus buah, dia sampai mengernyitkan dahi sembari mengetuk-ketuk pintu kaca lemari pendingin. "Duh, bingung mau yang mana dah..."
"Kenapa nggak jus jambu aja? Beli dua sekalian. Ayah mau juga soalnya, hehe," kata Caleb.
"Yee, ogah! Dompetku lagi bokek, jadi Ayah yang beliin ya?" kata Rian sambil mengedipkan mata dan senyum polosnya.