Mohon tunggu...
Dona Mariani
Dona Mariani Mohon Tunggu... Seorang pelajar SMA Negeri 3 Brebes yang sedang mencari jati dirinya saat ini

Seorang pelajar yang sedang berusaha menjadi sesuatu. Menulis adalah salah satu kegemarannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di bawah Langit yang Sama

9 Februari 2025   16:18 Diperbarui: 9 Februari 2025   16:14 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto Sebuah Pantai yang Mendung) ((Sumber : Pinterest (zaraynaf on ig))

Sore itu, langit berwarna hitam. Gumpalan kapas yang membumbung tinggi di atas sana, berwarna kelabu. Beberapa kali suara gemuruh dan kilatan petir silih bersahutan, membuat pertunjukkan spektakuler. Namun, seorang pemuda dengan pakaian kasual tengah berdiri di hamparan pasir putih, nampak tidak memedulikannya. Angin laut menerpa tubuhnya, seolah-olah menyuruhnya untuk menjauh dari tepi pantai. Tetapi, pemuda tersebut terpaku di tempat. Memandangi lautan luas yang sedang berwarna hitam dengan tatapan kosong.

Akhirnya, setelah beberapa hari penuh dengan tekanan yang tidak berujung, dia bisa menikmati waktu kesendiriaannya tanpa distraksi dari siapa pun. Lelah berdiri, Gilang memutuskan untuk duduk sembari menarik lutut untuk didekap erat. Beberapa kali dalam gumamnya, Gilang merutuki dirinya sendiri.

Bagaimana tidak, sebagai bentuk pelarian dari cintanya yang ditolak oleh Sabrina, orang yang dia sukai diam-diam saat SMA, Gilang mencoba peruntungan lain. Di antara sekian sahabat Gilang, ada salah satu sahabatnya yang menarik. Seorang pemuda cerdas asal Rusia dengan kondisi tubuh yang unik, yakni bisa berubah wujud. Maksudnya, jika dia bosan menjadi seorang pemuda cerdas yang banyak disegani orang-orang, dia akan berubah menjadi seorang gadis cantik yang bisa membuat semua mata para lelaki tertuju padanya. Alexei namanya, yang berarti berani. Namun, saat menjadi gadis, dia meminta Gilang untuk memanggilnya dengan nama Nikita.

Gilang dari golongan menengah ke atas, sehingga dia punya banyak uang untuk mengajak Nikita alias Alexei jalan-jalan ke beberapa destinasi wisata di dalam maupun luar negeri. Menikmati hamparan kebun teh di Kaligua, bermain ombak di Pantai Sanur, menjajal aneka ramen dan pemandian air panas di Jepang, melihat menara Eiffel dari jarak dekat di Prancis dan masih banyak lagi destinasi wisata yang telah mereka berdua kunjungi, hanya berdua. Lama kelamaan, Gilang memandang sahabatnya bukan sebagai Alexei si pemuda cerdas yang banyak disegani orang-orang lagi, melainkan seorang Nikita si gadis ayu rupawan dengan rambut pirangnya yang tergerai indah dan mata birunya yang tajam.

Rasanya Gilang ingin menjadi seorang pemberhenti waktu dan menikmati segala suasana dengan Nikita. Dia harap, waktu tidak terus berjalan dan mengizinkannya untuk merajut kisah dengan Nikita, bukan dengan yang lain. Namun, di situlah kesalahan fatal Gilang.

Suatu ketika, ketika Gilang dan Nikita sedang asyik bermain di halaman rumah Gilang, ibunda Nikita datang. Di genggamannya terdapat sebuah ramuan ajaib (memang sebuah ramuan ajaib dengan sedikit racikan rempah-rempah) yang konon katanya menjadi solusi dari setiap perubahan wujud anggota keluarganya dan sudah turun-temurun dilestarikan. Dengan meminumnya, Nikita bisa tidak berubah wujud lagi dan menjadi seorang Alexei yang Gilang kenal selama ini. Perkataan ibunda Alexei menjadi tamparan keras bagi Gilang. Dia baru sadar bahwa selama ini dia sudah berada di jalan yang menyimpang dan mengembalikannya ke jalan yang lurus.

Awalnya, Nikita alias Alexei ragu-ragu. Dia juga merasa sangat menikmati waktu yang dihabiskan bersama Gilang. Namun, melihat tatapan Gilang yang berusaha meyakinkannya agar dia bisa 'sembuh', Nikita mengangguk dan lekas meminumnya hingga tandas. Hening melingkupi mereka bertiga, sebelum Nikita tumbang di halaman rumah Gilang.

Tetapi, setelah beberapa menit yang seperti seabad, Gilang memandangi sahabatnya yang sudah kembali ke setelan awal. Tidak banyak yang berubah, kecuali sifatnya yang lebih kalem dan tegas yang berbeda jauh saat dirinya menjadi seorang gadis yang lebih terkesan feminin dan bebas berekspresi di depannya. Ketika ibunda Alexei bahagia melihat putranya telah sembuh, justru di lubuk hati Gilang paling dalam, dia merasakan kesepian dan ... malu.

Malamnya, Gilang dihinggapi rasa canggung dan sangat malu mengingat semua momen yang dia habiskan bersama Alexei sebagai Nikita-nya. Beberapa kali Gilang menjedotkan kepalanya ke tembok kamar hingga dahinya berdarah. "Bodoh, bodoh, bodoh! Aku sangat bodoh! Seharusnya aku tidak pernah jatuh cinta kepadanya, atau siapapun di dunia ini!"

Gilang sudah terjun bebas ke dalam jurang kekecewaan yang dia buat sendiri, dengan dasar jurangnya yang dipenuhi rasa malunya. Besoknya, saat Gilang dan Alexei berpapasan di kampus, Gilang berusaha tidak melakukan kontak mata dengan sahabatnya dan memilih menghindari setiap interaksi dengannya. Entah kenapa, saat mereka berdua di satukan dalam sebuah kegiatan atau ruang obrolan, suasanya menjadi sangat canggung. Seakan-akan ada tembok tak terlihat yang mulai dibangun di antara mereka berdua. Meskipun Alexei dengan segala upaya dan caranya berusaha membangun komunikasi lagi dengan Gilang agar persahabatan mereka tidak runtuh, namun dia juga lelah mengejar-ngejar sesuatu yang tidak pasti. Alexei lelah dengan sikap dingin atau cuek yang ditunjukkan Gilang kepadanya.

Tidak ingin seperti ini terus, akhirnya Alexei meminta Gilang untuk bertemu di sebuah kafe dekat tempat tinggal Gilang. Alexei berinisiatif membuka obrolan setelah beberapa menit dalam keheningan yang canggung. "Gilang, aku tahu kamu pasti bingung dan kecewa belakangan ini. Sama, aku juga begitu. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Aku juga tidak ingin kita begini terus. Selalu menghindar dengan berbagai alasan dan tidak mencoba berkomunikasi satu sama lain. Siapa tahu kita bisa menemukan solusinya bersama, 'kan?"

Gilang menatap lamat-lamat orang yang ada di hadapannya itu dengan ekspresi datar. Dia sedang lelah secara mental dan hanya itu yang ingin dibicarakan oleh Alexei? Seketika rahangnya mengeras dan dia menaikkan volume suaranya. "Tidak ada solusinya, Alex! Aku yang bodoh karena sudah terjebak dengan perasaanku sendiri! Aku yang bodoh karena mengharapkan sesuatu yang abu-abu dan tidak jelas akhirnya! Ya, kau tidak salah, tapi akulah yang salah di sini!" bentaknya pada pemuda Rusia itu. Sebelum beranjak pergi, sekali lagi Gilang menatap tajam Alexei dan berkata, "Terima kasih sudah mengajakku ke sini. Tapi, aku ingin sendiri dulu, jadi jangan temui aku untuk sementara waktu. Bye!"

Alexei menatap punggung sahabatnya itu sebelum keluar dari kafe, dengan tatapan yang sulit diartikan. Hatinya tersayat-sayat begitu mendengarnya langsung dari Gilang. Dia memejamkan mata dengan dahinya mengernyit karena mati-matian berusaha menahan air mata yang hampir memenuhi pelupuk matanya. Pertama kalinya dalam hubungan pertemanan mereka, Alexei merasa terluka dan kecewa.

~~~~~~

Begitu mengingat kejadian di kafe beberapa jam yang lalu, Gilang tertawa hambar dengan penuh ironi. Dia masih terpaku di tempat, sudah sekalian kalinya lidah ombak menyambar kakinya. Derasnya air hujan menerpa wajahnya, menyamarkan air matanya yang tumpah ruah. Andai lautan bisa berbicara, mungkin ia sudah menertawakan Gilang yang malang karena cintanya bertepuk sebelah tangan.

Lelah berdiri, Gilang pun duduk sebelum menyambar lututnya untuk dipeluk. Gilang pun menangis tersedu-sedu dengan wajah yang terbenam di lututnya. Bahunya bergetar hebat, dihantam dinginnya air hujan yang menusuk kulitnya. 'Ah, pasti Alex kecewa denganku. Aku sudah menyakitinya, jadi wajar saja jika aku nanti dijauhi olehnya. Lalu ... aku akan sendirian, lagi,' batinnya pilu.

Selama ini, semua teman-teman Hafid sifatnya musiman dan akan berganti setiap kelulusan sekolah. Maka dari itu, Gilang tidak mengharapkan apapun dari namanya 'persahabatan' dan dia memilih untuk tidak terlalu dekat ketika menjalin hubungan dengan seseorang. Dan saat kelulusan SMA, dari sekian banyak orang hanya Alexei yang masih bertahan menyandang gelar "Sahabat" dari Gilang. Sahabat yang setia mendengarkan segala ocehan, curhatan, dan rasa sabarnya seluas samudera terhadap tingkah laku Gilang yang bisa menguras emosi dan jiwa, serta keluyuran di jam sepuluh malam di malam pergantian tahun baru.

Entah sudah berapa lama Gilang berada di tepi pantai dengan hujan yang terus mengguyurnya. Ketika hujan semakin reda, suara langkah kaki lembut mendekatinya. Anehnya, tidak ada air hujan yang mengenainya. Begitu mendongak dan menoleh, mata coklat Gilang yang sembab bertemu mata biru Alexei yang tegas. Alexei menaungi Gilang dengan payung hitamnya, meskipun sekujur tubuh Gilang sudah basah dengan air hujan. "Ayo pulang. Ibumu sudah mengkhawatirkanmu," Alexei mengulurkan tangan pada Gilang.

Hening sesaat, sebelum Gilang menggeleng pelan dan kembali meringkuk. Alexei menghela napas panjang sebelum duduk di samping Gilang dan sudut bibirnya terangkat. "Jujur saja, aku memang kecewa denganmu, setelah kau berkata seperti itu kepadaku. Tapi, bukan berarti aku membencimu, Gilang."

Gilang kembali mendongak dan mendapati Alexei tersenyum lembut padanya. "Walaupun aku sudah jahat padamu?" tanyanya dengan lirih.

Alexei mengacak rambut Gilang pelan. "Meskipun kau sudah jahat padaku. Aku memaafkanmu, Gilang."

Gilang terdiam sebelum dia terkekeh. "Aku minta maaf, Alex. Terima kasih, sudah bertahan menjadi sahabatku."

Alexei mengangkat bahu santai lalu menepuk bahu Gilang sambil berdiri. "Tentu, kawan. Jadi, ayo pulang, mandi, ganti baju dan kau harus mentraktirku makan malam. Aku lapar."

Tawa Gilang semakin keras dan dia beranjak pergi dari pantai bersama Alexei. Sepertinya, Gilang yang terlalu berpikir berlebihan kalau persahabatannya dengan Alexei akan runtuh saar itu juga. Namun, Alexei lebih memilih bertahan dan begitu juga dengan Gilang, yang menebus kesalahannya dengan makan malam enak untuk Alexei di sebuah restoran dekat rumah Gilang.

~Tamat~

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun