Tidak ingin seperti ini terus, akhirnya Alexei meminta Gilang untuk bertemu di sebuah kafe dekat tempat tinggal Gilang. Alexei berinisiatif membuka obrolan setelah beberapa menit dalam keheningan yang canggung. "Gilang, aku tahu kamu pasti bingung dan kecewa belakangan ini. Sama, aku juga begitu. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Aku juga tidak ingin kita begini terus. Selalu menghindar dengan berbagai alasan dan tidak mencoba berkomunikasi satu sama lain. Siapa tahu kita bisa menemukan solusinya bersama, 'kan?"
Gilang menatap lamat-lamat orang yang ada di hadapannya itu dengan ekspresi datar. Dia sedang lelah secara mental dan hanya itu yang ingin dibicarakan oleh Alexei? Seketika rahangnya mengeras dan dia menaikkan volume suaranya. "Tidak ada solusinya, Alex! Aku yang bodoh karena sudah terjebak dengan perasaanku sendiri! Aku yang bodoh karena mengharapkan sesuatu yang abu-abu dan tidak jelas akhirnya! Ya, kau tidak salah, tapi akulah yang salah di sini!" bentaknya pada pemuda Rusia itu. Sebelum beranjak pergi, sekali lagi Gilang menatap tajam Alexei dan berkata, "Terima kasih sudah mengajakku ke sini. Tapi, aku ingin sendiri dulu, jadi jangan temui aku untuk sementara waktu. Bye!"
Alexei menatap punggung sahabatnya itu sebelum keluar dari kafe, dengan tatapan yang sulit diartikan. Hatinya tersayat-sayat begitu mendengarnya langsung dari Gilang. Dia memejamkan mata dengan dahinya mengernyit karena mati-matian berusaha menahan air mata yang hampir memenuhi pelupuk matanya. Pertama kalinya dalam hubungan pertemanan mereka, Alexei merasa terluka dan kecewa.
~~~~~~
Begitu mengingat kejadian di kafe beberapa jam yang lalu, Gilang tertawa hambar dengan penuh ironi. Dia masih terpaku di tempat, sudah sekalian kalinya lidah ombak menyambar kakinya. Derasnya air hujan menerpa wajahnya, menyamarkan air matanya yang tumpah ruah. Andai lautan bisa berbicara, mungkin ia sudah menertawakan Gilang yang malang karena cintanya bertepuk sebelah tangan.
Lelah berdiri, Gilang pun duduk sebelum menyambar lututnya untuk dipeluk. Gilang pun menangis tersedu-sedu dengan wajah yang terbenam di lututnya. Bahunya bergetar hebat, dihantam dinginnya air hujan yang menusuk kulitnya. 'Ah, pasti Alex kecewa denganku. Aku sudah menyakitinya, jadi wajar saja jika aku nanti dijauhi olehnya. Lalu ... aku akan sendirian, lagi,' batinnya pilu.
Selama ini, semua teman-teman Hafid sifatnya musiman dan akan berganti setiap kelulusan sekolah. Maka dari itu, Gilang tidak mengharapkan apapun dari namanya 'persahabatan' dan dia memilih untuk tidak terlalu dekat ketika menjalin hubungan dengan seseorang. Dan saat kelulusan SMA, dari sekian banyak orang hanya Alexei yang masih bertahan menyandang gelar "Sahabat" dari Gilang. Sahabat yang setia mendengarkan segala ocehan, curhatan, dan rasa sabarnya seluas samudera terhadap tingkah laku Gilang yang bisa menguras emosi dan jiwa, serta keluyuran di jam sepuluh malam di malam pergantian tahun baru.
Entah sudah berapa lama Gilang berada di tepi pantai dengan hujan yang terus mengguyurnya. Ketika hujan semakin reda, suara langkah kaki lembut mendekatinya. Anehnya, tidak ada air hujan yang mengenainya. Begitu mendongak dan menoleh, mata coklat Gilang yang sembab bertemu mata biru Alexei yang tegas. Alexei menaungi Gilang dengan payung hitamnya, meskipun sekujur tubuh Gilang sudah basah dengan air hujan. "Ayo pulang. Ibumu sudah mengkhawatirkanmu," Alexei mengulurkan tangan pada Gilang.
Hening sesaat, sebelum Gilang menggeleng pelan dan kembali meringkuk. Alexei menghela napas panjang sebelum duduk di samping Gilang dan sudut bibirnya terangkat. "Jujur saja, aku memang kecewa denganmu, setelah kau berkata seperti itu kepadaku. Tapi, bukan berarti aku membencimu, Gilang."
Gilang kembali mendongak dan mendapati Alexei tersenyum lembut padanya. "Walaupun aku sudah jahat padamu?" tanyanya dengan lirih.
Alexei mengacak rambut Gilang pelan. "Meskipun kau sudah jahat padaku. Aku memaafkanmu, Gilang."