Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teh Tarik dan Hujan di Akhir Tahun

27 Desember 2014   22:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:21 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1419669581182642920

Jakarta, 27 Desember 2014…

Siang ini hujan tak lagi deras mengguyur.

Rain mendesah.  Kesal.

Memang sih sudah nggak hujan.

Tapi tetep aja janji hari ini sudah dicancel.


Gadis berambut ikal itu turun dari apartemennya di lantai 13 sambil menyandang ransel berisi kamera DSLR dan perlengkapannya yang tadinya akan digunakan hari ini untuk satu sesi pemotretan pre wedding.  Namun cuaca yang tak menentu sejak malam membuat kliennya membatalkan janji pemotretan dan meminta reschedule.

Padahal aku sudah membatalkan liburan ke Jepang.

Tau gini, mending aku ikut liburan aja.

Kedua orangtuanya sedang liburan ke Jepang menemui tante Weedy, sementara kakak perempuan satu-satunya sedang sibuk bersama kakak sepupunya mengurus usaha keluarga, dan setelah itu akan menyusul ke Jepang.

Rain gemas.

Huhh… musim libur gini tiket ke mana-mana sudah habis.

Sepertinya liburan kali ini bakal aku habisin di Jakarta aja.

Lift yang membawanya tiba di lobi.  Rencananya ia hendak mengisi perut sambil berjalan-jalan di sekitar lingkungan apartemen mencari objek foto.  Gadis itu bergegas keluar, tapi hujan mendadak kembali turun dengan derasnya.

Rain pun mengangkat bahu.

Selalu begini.

Entah sejak kapan ketidak-beruntungan selalu menyertainya saat hujan di akhir tahun.  Yang jelas, ia mulai memperhatikan hal tersebut ketika liburan semester SMA.  Waktu itu sekolahnya bermaksud mengadakan karyawisata di Bali.

Tapi waktu itu aku kena demam gegara kehujanan.

Dan akibatnya, cowok yang diincarnya keburu jadian sama cewek lain.

Lain waktu, kesialan menghampirinya saat ulang tahun Via sahabatnya.  Di tengah hujan, ia menolong seseorang yang menjadi korban tabrak lari dan membawa orang itu ke RS.

Bajuku jadi basah dan penuh darah, nggak mungkin aku datang ke pesta dengan pakaian seperti itu.

Dan sejak saat itu Via memutuskan persahabatan mereka.

Berikutnya saat ia bermaksud memberikan kejutan pada pacarnya.

Dan memang aku mendapatkan kejutan.  Cowok sialan itu selingkuh sama orang lain.  Bahkan kabarnya sampe hamil pula!

Semua terjadi saat hujan di akhir tahun.

Dan kini, ia merasa sangat lapar namun hujan tak kunjung berhenti – bahkan semakin deras.  Rain merasa nelangsa.

Padahal food courtnya ada di depan sana…

Tapi kenapa?

Tak ada pilihan lain, ia harus ke basement, mengambil mobil, dan makan di luar lingkungan apartemennya.

Tapi…

Kunci mobil ada di kamar!

Masa’ aku harus naik lagi?

“Siang Kak,” seseorang menegurnya.

Rain menoleh.

Ia mengenal siapa yang menegurnya, seorang petugas kebersihan di apartemen tempatnya tinggal.  Seorang gadis yang masih muda, kira-kira seusia dirinya.

“Mbak Dewi,” ia menyapa sambil tersenyum.

Dalam hati ia mengagumi ketangguhan sosok di hadapannya ini.  Seseorang yang rela bekerja keras untuk menghidupi keluarganya.

“Mau ke mana Kak?” sapa Dewi.

“Aku lapar, mau makan di food court sana tapi hujannya nggak berhenti,” keluh Rain.

Dewi tersenyum.

“Mau Dewi ambilin payung?” tanyanya.

Mata Rain membelalak.

"Tapi nanti ngerepotin Mbak Dewi," katanya sungkan.

“Nggak apa-apa kok.  Sebentar ya,” Dewi kemudian menghilang dan beberapa menit kemudian kembali dengan payung kecil di tangannya.

“Aku pinjem dulu ya Mbak,” seru Rain sambil tangannya menyambar payung di genggaman Dewi.

Dengan penuh semangat, Rain melangkahkan kakinya menuju food court.  Incaran pertamanya adalah kedai Dimsum dan Shumay ala Nyah Ben.

Tapi…

“Maaf Kak, sudah habis.  Kalo mau nunggu masih agak lama sih,” sahut Mbak Putri yang mengelola kedai tersebut.

Beberapa kedai favorit Rain berikutnya juga menyatakan hal yang sama,

“Maaf, pisang gorengnya habis,” tukas Non Septi.

“Oh menu yang ini baru sore nanti siap,” ujar pelayan di kedai pizza Bang Rahab.

“Maaf neng, bisa pesen menu Manstaf yang lain?” tawar Mang Edy.

Rain kecewa.

Hujan di akhir tahun…

Kenapa kau selalu membawa kesialan buatku?

Ia akhirnya memesan segelas teh tarik sambil menenangkan dirinya, berusaha meredam emosinya.  Setengah berlari ia menuju satu meja yang masih kosong di sudut ruangan.  Namun malang ia tak melihat satu papan kuning bertuliskan “Hati-hati lantai basah”.  Akibatnya ia pun terpeleset, minuman yang dibawanya tumpah membasahi lantai.

Kali ini Rain tak tahan!

Gadis itu menangis terisak-isak.

Ayah!  Ibu!  Kenapa kalian memberiku nama ‘Rain’?

Seharusnya hujan adalah sahabatku, tapi kenapa aku selalu sial saat hujan?

Aku benci nama ini!

Aku benci nama ‘Rain’!

Rain tak juga bangkit dari lantai, ia tak peduli tatapan iba atau geli dari orang-orang di sekitarnya.  Ia tak mempedulikan bisik-bisik dan tawa kecil orang-orang di sekitarnya.

Ia tak peduli semua itu!

“Nona, kamu nggak apa-apa?”

Rain mengangkat wajahnya.  Nampak seorang pemuda yang berlutut di hadapannya.

“Kamu bisa berdiri?  Mau aku bantu?” pemuda itu kini mengulurkan tangannya.

Tanpa sadar, Rain mengulurkan tangan menerima bantuan dari orang yang baru dilihatnya itu.

“Kamu duduk di sini aja, di tempatku,” ujar pemuda itu yang diiyakan saja oleh Rain, “Mau aku pesenin lagi minuman yang sama?”

“Terimakasih,” gadis itu menjawab singkat, “Maaf merepotkan.”

Pemuda itu tertawa kecil kemudian berlalu, dan beberapa menit setelahnya ia kembali dengan dua gelas teh tarik.

“Silakan,” pemuda itu memberikan gelas yang satu pada Rain.

“Namaku Surya,” lanjutnya sambil mengulurkan tangannya, “Boleh kenalan?”

Rain menunduk.

“Aku benci namaku,” ujarnya.

“Kenapa?” tanya Surya.

Nama ini selalu membawa sial untukku.”

“Maksudnya?”

“Apa yang kamu liat tadi hanya bagian kecil dari kesialan yang menimpaku.  Kamu tau?  Ini semua gegara namaku,” tukas Rain.

“Oh,” timpal Surya, “Seperti misalnya diputusin pacar, sakit di hari penting, sama kejadian-kejadian lain?  Gitu?”

Rain mengangguk.  Surya tertawa.

“Kenapa kamu ketawa?!” seru Rain kesal.

“Kamu tau?  Mungkin aku punya cerita yang sama dengan namaku, sama sepertimu,” balas Surya.

“Eh?” Rain heran, “Maksudnya?”

“Yah, aku sering mengalami ‘kesialan’, biasanya di siang hari yang terik,” sahut Surya sambil kedua tangannya membentuk tanda kutip ketika ia mengucapkan ‘kesialan’.

Rain terbelalak.

“Mau dengar ceritaku?” tanya Surya sambil tersenyum.

Rain mengangguk.

Catatan Penulis :

Sila menikmati lagu yang menjadi sumber inspirasi cerita ini, "Hujan" dari Utopia.  Ohya, sila share jika Kompasianer punya pengalaman serupa :)

Sumber gambar : wallpaperswa.com
Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di www.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun