Mohon tunggu...
Rustian Al Ansori
Rustian Al Ansori Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis kehidupan, Menghidupkan tulisan

Pernah bekerja di lembaga penyiaran, berdomisili di Sungailiat (Bangka Belitung)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

ASN Terjebak ataukah Dijebak Politik Praktis?

18 April 2020   08:38 Diperbarui: 20 April 2020   11:52 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pilkada serentak tahun 2020 gagal dilaksanakan. Ditunda pelaksanaannya karena pandemi Corona. Tahun ini Corona tidak bisa menjadi jualan politik. Kalau jadi Pilkada di tengah Corona selain berbahaya karena penyebaran virus, juga tidak terelakkan jadi jualan politik. Sungguh tidak elok. 

Apartur Sipil Negera (ASN) tidak dibuat repot bila menghadapi kepala daerah dalam posisi calon inkamben yang maju lagi dalam Pilkada. ASN kembali diuji netralitasnya ketika Pilkada. 

Di era orde baru kondisi politik waktu itu membuat PNS dan organisasi yang menaunginya yakni Korpri turut berpolitik sebagai pendukung rezim yang berkuasa. Bahkan PNS diperkenankan menjadi pengurus partai politik (parpol) pendukung pemerintah dan bahkan ada yang menjadi anggota DPR RI dan DPRD dengan tetap mempertahankan status PNS nya.

Dewasa ini, ketika memasuki era Aparatur Sipil Negera (ASN) kembali tegas dinyatakan pengawai ASN meliputi PNS dan PPPK atau pegawai dengan perjanjian kerja, di antaranya bebas dari intervensi politik.

Kendati Undang Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN (pasal 9) tersebut menegaskan demikian, kenyataannya PNS dan pegawai kontrak dalam menjalankan tugasnya tidak pernah terlepas dari interpensi politik. Buktinya semua kebijakan publik yang dibuat, termasuk anggaran adalah produk politik yang dibuat bersama-sama antara eksekutif dan legeslatif.

Semuanya merupakan  bukti bahwa PNS tidak terlepas dari pengaruh politik. Di era Orde Baru PNS terlibat politik praktis. Karenanya PNS cukup lama diajak berpolitik khususnya mereka yang sudah menjadi PNS sebelum era reformasi. 

Bukanlah perkara mudah untuk melepas pengaruh dan tempaan yang cukup lama, sehingga.meskipun pimpinan daerahnya bukan politisi atau bukan berasal dari partai politik namun berasal dari birokrasi tetap saja gaya kepemimpinan tak beda sebagai seorang politisi. 

Sulit untuk birokrat yang sudah mendarahdaging dan sudah menjalani "cuci otak" berpolitik dalam birokrasi di era rezim sebelumnya untuk dapat  melepaskan diri pada era saat ini. 

Revolusi mental itu harus mulai dari PNS.
Dampak dari kenyataan sejarah, memasuki era reformasi ada oknum PNS masih dicurigai tetap berpolitik. Kecurigaan tersebut juga mencuat ketika jelang pelaksanaan Pilkada. 

Meskipun terpaan tudingan dinilai tidak netral dan PNS diduga terlibat politik praktis, masih sulit dibukti namun hanya sedikit saja oknum yang tertangkap basah. PNS pun jadi korban, setiap pilkada. PNS dituduh telah berpihak kepada calon yang kalah, maka calon yang menang melampiaskan dendam politiknya.

Mereka yang menduduki jabatan harus kehilangan jabatan (non job). Terjadi penempatan jabatan bagi PNS atas dasar suka-suka yang sedang berkuasa.

Kondisi itu tidak bisa disalahkan kepada yang sedang berkuasa, namun sebagai konsekwensi untuk PNS yang telah mempertaruhkan dirinya dalam pertarungan poltik. Isu menduduki jabatan harus membayar sejumlah uang juga sempat mencuat dikalangan PNS. Benar-benar PNS telah direndahkan.

Bila penempatan pejabat masih mempertibangkan karena pertimbangan suka ataupun tidak suka, bukan karena pertimbangan profesionalisme sulit akan terwujudnya ASN yang profesional. Termasuk dalam pelaksanaan pemerintahan, seperti dalam mendelegasikan tugas dan penempatan jabatan kepada bawahan bila masih ada pertimbangan suka maupun tidak suka akan melahirkan friksi-friksi. 

Pengkotak-kotakan yang terbentuk dikalangan birokrat akan bermuara kepada perpecahan. Dendam poltik tidak akan pernah berkesudahan. PNS tetap akan menjadi korban.

Menempatkan PNS sebagai seorang profesional adalah cara yang terbaik untuk mecegah PNS tidak terlibat politik praktis. Aturan ASN bila benar-benar ditegakkan dan PNS kembali kepada fungsinya sebagai pelayan publik akan terhindar dari dendam politik. Demikian pula para pejabat politik yang menang dalam Pilkada untuk tidak mengajak PNS berpolitik praktis dengan mengiming-imingkan jabatan.

Para calon Bupati dan Wakil Bupati seperti daerah saya di Bangka Belitung yang akan mengikutki Pilkada setelah pandemi, memeliki peran untuk tidak mengajak dan menolak PNS berpolitik praktis. Termasuk mencegah fenomena berpindahnya PNS ke suatu daerah karena kubu yang didukungnya menang. 

Begitu pula sebaliknya. Ada baiknya aturan penerapan lelang jabatan seperti yang diatur dalam UU tentang ASN, dilakukan dengan seleksi yang transparant bukan hanya sekedar simbolis saja untuk memenuhi atruran akan terjaring pejabat tinggi yang profesional dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik dan apartur yang bersih.

Fenomena yang terjadi saat beberapa Pilkada sebelumnya, PNS ikut-ikutan memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon, kendati secara diam-diam. Namun ada pula yang mengambil posisi berada disemua calon atau disebut dengan menggunakan istilah politik dua kaki. Jadi siapa pun yang menang ia akan selamat, kalau tidak ketahuan.

Sedangkan untuk PNS yang menempatkan dirinya sebagai profesional, dalam posisi netral akan menunggu dalam ketidakpastian akan dipakai atau tidak penguasa yang memenangkan Pilkada.

Pilkada usai. Bupati dan wakil bupati sudah diketahui siapa yang menang dari hasil penghitungan suara. Masihkah aksi dukung-mendukung itu terjadi? Ini bisa dilihat ketika calon Bupati dan Wakil Bupati yang menang Pilkada dulu pernah berkuasa di suatu kabupaten, sejumlah PNS yang menduduki jabatan tinggi pergi meninggalkan daerahnya namun setelah mengetahui calon yang dulu pernah didukung 5 tahun lalu menang tidak menutup kemungkinan akan kembali PNS yang dimaksud pulang kampung. 

Semoga saja para Bupati dan Wakil Bupati yang terpilih dalam dapat menerapkan aturan UU ASN dalam menetapkan pejabat tinggi, untuk dapat menjaring PNS yang profesional kompeten dibidangnya, bukan karena hubungan politis.

Regulasi ASN, bila ditegakkan akan menjadikan PNS yang profesional sesuai dengan fungsinya sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, perekat dan pemersatu bangsa. Saatnya PNS memasuki era terbebas dari dendam politik. Tinggal sekarang ASN bersikap dan menempatkan posisi dalam jebakan ataukah dijebak, bagaikan posisi serba salah "maju kena mundur kena." 

Salam dari pulau Bangka.
Rustian Al'Ansori

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun