Jauh ke Timur kutatap awan perlahan terang, matahari mulai naik menerangi pagi.Â
Aku mulai menata aksara untuk kurangkai menjadi kata-kata, membangunnya dalam baris tersusun dalam bait puisi.
Pagi telah menjadi energi menguatkan literasi, menyentuh embun yang bertaburan dengan diksi yang tercurah dari hati.
Satu kali tarikan nafas walaupun sedikit tersekat koma, berlanjut hingga titik mengakhiri narasi.
Bersama pagi dalam aroma kopi, telah ada puisi yang disisipi dalam irisan roti dari senyummu yang tersirat curiga ketika mimpi mengabarkan telah dihianati.
Hati telah tercemari, apalah arti puisi kalau hanya rekayasa dalam sandiwara fiksi yang tidak mampu meyakini.
Sungailiat, 28 November 2019