Mohon tunggu...
Rustam E. Simamora
Rustam E. Simamora Mohon Tunggu... lainnya -

~=*=~

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Candu dan Ego

27 Juni 2012   18:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:28 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Malam ini sekitar jam sembilan lewat (27 Juni 2012), aku dan teman berencana pergi ke salah satu mini market di Medan. Tepatnya di Aksara. Biasanya kalau jam segini, angkot (angkutan kota) sudah mulai jarang. Kami putuskan supaya naik becak saja. Tak jauh dari tempat kos adekku itu, ada becak sedang mangkal di depan kedai kopi. Becak tak ditunggui pengemudi. Dimana gerangan yang empunya becak? Gumamku dalam hati.

“Bang… becaknya?” demikian tanya saya. Seorang bapak yang duduk bersantai di depan kedai mendongak. Segera melempar pandang terhadap sekelompok Bapak-bapak yang sedang asyik main kartu. Bapak tadi tampaknya mengingatkan si empunya becak. Terjadi percakapan yang kurang bisa saya dengar dengan baik. Tampaknya terjadi tawar-menawar singkat antara Si Bapak dengan Juru Kemudi. Rupanya Abang becak terlalu asyik dengan permainannya, jadi ogah untuk bergerak.

gak narik, Bang!”, demikian jawab Bapak berkaos putih tadi dengan ramah.

Kami merasa geli dengan pengalaman ini.

“Gara-gara main kartu, kerja dilupakan!”. Demikian protes temanku.

Aku jadinya teringatjuga dengan pengakuan juru bengkel di kampungku.

“Hami parbengkel on adong do sombong-sombong nami. Ai molo songon na tabo na markartu on, ai so hu layani hami angka na naeng marbengkel. ‘Tu bengkel ni si Aha an majo boan bo!’, pintor songoni do nidokhon!”. (baca: “Sebagai tukang bengkel, kami juga (punya) ego. Kalau lagi enak main kartu, kami tidak melayani pelanggan. ‘Ke bengkel si Anu saja bawa, Ya!’, begitu kami bilang!”).

Pengalaman serupa juga pernah saya alami. Waktu itu saya masih anak-anak. Masih duduk di bangku SD. Tapi pengalaman ini masih terlihat jelas. Saya ingin membeli kerupuk. Kebetulan Ibu Marbun dan anak-anak yang biasanya melayani tidak di tempat. Bapak Purba, suami Bu Marbun sedang main Billyard. “Ndang gadison be i. tampang nama i!”, jawab Si Bapak ketus. (“(kerupuk) itu tidak dijual lagi. (Kerupuk) itu akan dijadikan bibit!”). Betapa kesalnya aku ketika itu. Barangkali si Bapak lagi tertekan karena kalah.

Tak sedikit juga kaum Bapak di tempat kami yang lebih memilih untuk membeli rokok daripada makanan pada saat sedang lapar. Rupa-rupanya rasa lapar di perut lebih bisa dijinakkan daripada rasa lapar di mulut. Kami memiliki kerabat yang memiliki serangan jantung dan gangguan pernafasan pada paru. Tentu saja dokter menyarankan, lebih tepatnya mengharuskan, supaya menghentikan kebiasaannya merokok. Bapak ini, kini sudah almarhum, tentu saja tidak akan mudah melakukan ‘nasihat’ dokter. Sang Bapak tetap merokok secara sembunyi-sembunyi. Suatu saat, beliau hanya bisa terbaring di rumah sakit. Dan hasrat untuk merokok begitu ‘menggatali’ kerongkongannya. Si Bapak merengek-rengek kepada istrinya untuk merokok. “Matipun jadilah. Asalkan bisa merokok!”

Minuman keras juga bisa menjadi candu yang sangat mengikat. Saya teringat dengan paman saya yang sudah mengalami masalah dengan lambungnya oleh karena sering minum tuak. Ketika lambungnya sedang sakit-sakitnya, segeralah dilarikan ke rumah sakit. Opname beberapa hari. Kemudian berobat jalan. Setelah merasa baikan, kembali tuak diteguk. Pelajaran sakit-penyakit hilang sehilang-hilangnya dari memori ketika refrain lagu di tarik dengan suara serak, dan kemudian tuak puan akan diteguk. Turun, mengalir dari mulut ke lambung dan badan akan hangat.

Banyak hal yang berpotensi menjadi candu. Hobby, seks, judi, minuman keras, bahkan agama bisa menjadi candu. Dan setiap candu irasional. Berawal dari nikmat, dan selalu berakhir atau diakhiri dengan sengsara. Candu yang dihentikan secara perlahan pun menanggung derita sebelum lepas dari candu itu. Apalagi candu yang terselubung. “Kerahasiaan adalah tempat subur bagi candu”, kata orang bijak.Waspadai ketika kesenangan dan nikmat yang mengendalikan menjadi kebutuhan.

“Termasuk candukah korupsi?”. Begitu tanya di benak saya kemudian.

Ketika kesenangan itu menjadi candu, bukan hanya orang lain yang (merasa) dirugikan, tetapi juga diri sendiri. Candu merugi berkali-kali.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun