Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

1. Rusman: Denting Pedang di Pantai Tuban (e)

3 Juni 2019   16:51 Diperbarui: 4 Juni 2019   12:21 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekejab kemudian setiap pemuda yang berwajah liar dan buas itu menjadi heran. Keadaan ternyata berkembang tanpa dapat dikekang lagi. 

Namun mereka pun tidak ingin merendahkan nama mereka. Sehingga dengan garangnya, pemuda yang telah terluka tangannya itu menggeram.

"Baik, baik. Kami tidak berkeberatan. Marilah. Lima orang di pihak kami meskipun di antaranya telah terluka dan empat orang di pihakmu, bersama-sama dengan gadis itu. Kita akan bertempur. Tetapi kami minta, taruhannya adalah dia yang bernama Kembang Arum. Setuju?"

Sri Aji sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Baginya penghinaan itu sudah berlebihan. Apalagi saat ia tahu bahwa pamannya telah menjadi marah pula. 

Kelima pemuda itu tidak dapat mengalahkan Kembang Arum seorang diri. Apalagi mereka harus bertempur melawan dirinya dan pamannya bersama-sama. Sudah tentu Kembang Arum sendiri akan ikut serta.

Belum lagi apabila gurunya membantunya pula. Maka membunuh kelima orang itu bagaikan hanya membalikkan sebuah tangan saja.

Tetapi sebelum Sri Aji meloncat tiba-tiba terdengar suara gurunya, "Sri Aji. Tunggu."

Sri Aji tertegun sejenak. Bersamaan dengan pamannya ia berpaling.

"Jangan terburu nafsu," berkata Ki Jala Sabrang kemudian.

"Mereka menghina aku, Guru," berkata Sri Aji.

"Ya, tetapi jangan tergesa-gesa mengambil tindakan. Kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan dengan saksama. Aku sependapat dengan kau dan pamanmu Ki Palang Sisir. Tetapi aku tidak sependapat bahwa kalian harus bertempur di sini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun