Sekejab kemudian setiap pemuda yang berwajah liar dan buas itu menjadi heran. Keadaan ternyata berkembang tanpa dapat dikekang lagi.Â
Namun mereka pun tidak ingin merendahkan nama mereka. Sehingga dengan garangnya, pemuda yang telah terluka tangannya itu menggeram.
"Baik, baik. Kami tidak berkeberatan. Marilah. Lima orang di pihak kami meskipun di antaranya telah terluka dan empat orang di pihakmu, bersama-sama dengan gadis itu. Kita akan bertempur. Tetapi kami minta, taruhannya adalah dia yang bernama Kembang Arum. Setuju?"
Sri Aji sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Baginya penghinaan itu sudah berlebihan. Apalagi saat ia tahu bahwa pamannya telah menjadi marah pula.Â
Kelima pemuda itu tidak dapat mengalahkan Kembang Arum seorang diri. Apalagi mereka harus bertempur melawan dirinya dan pamannya bersama-sama. Sudah tentu Kembang Arum sendiri akan ikut serta.
Belum lagi apabila gurunya membantunya pula. Maka membunuh kelima orang itu bagaikan hanya membalikkan sebuah tangan saja.
Tetapi sebelum Sri Aji meloncat tiba-tiba terdengar suara gurunya, "Sri Aji. Tunggu."
Sri Aji tertegun sejenak. Bersamaan dengan pamannya ia berpaling.
"Jangan terburu nafsu," berkata Ki Jala Sabrang kemudian.
"Mereka menghina aku, Guru," berkata Sri Aji.
"Ya, tetapi jangan tergesa-gesa mengambil tindakan. Kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan dengan saksama. Aku sependapat dengan kau dan pamanmu Ki Palang Sisir. Tetapi aku tidak sependapat bahwa kalian harus bertempur di sini."