Setyaki itu kini benar-benar bersikap sebagai seorang ksatriya di kandang musuh. Setyaki yang pernah dia dengar, ialah yang terkenal bagaikan macan di garis peperangan.
Kini Burisrawa harus bersiap, dengan sedikit gemetar pangeran Mandaraka itu menyingsingkan lengan dan melingkis celana.
"Apa boleh buat, aku tidak boleh terlihat takut," pikirnya, "Apalagi ini di alun-alun Astina, kalau ada apa apa maka paman Sengkuni atau Dursasana pasti ada di belangkangku."
Selangkah demi selangkah Setyaki yang tingginya hanya sebatas dada Burisrawa itu maju.
Pengalamannya yang panjang menjadikan ia tak sedikitpun ragu menghadapi musuh yang bagaimanapun beratnya.
Apalagi hanya si muka jelek Burisrawa yang ia tahu kemampuannya tak lebih dari satriya ugal Dursasana.
Maka dengan mantap sekali si Bima Kunting itu menggerakkan kakinya.
Matanya yang merah menatap tajam ke arah lawan, membuat hati Burisrawa terasa ciut.***
Bersambung ke tautan berikut:
https://www.kompasiana.com/rusrusman522/5c823206aeebe14f7f2aa294/pergulatan-setyaki-dan-burisrawa-3