Tidak seperti biasanya, padang rumput di tepian hutan Jenggala yang sebelumnya selalu tenang malam ini sedang mengalami kegaduhan. Di bawah sinar bulan yang redup nampak dua lelaki muda sedang beradu kesaktian.Â
Ternyata mereka adalah adipati Tuban yang bergelar Benteng Surolawe dengan seorang senopati Mataram ialah Raden Surobahu. Di belakang sang adipati ada pamanda guru yakni Ki Panitis sedang tidak jauh dari senopati muda adalah gurunya sendiri ialah Ki Tejo Watang. Sudah beberapa saat dua pemuda sakti itu telah saling memamerkan daya kemampuannya.Â
Sementara itu Ki Tejo Watang yang sudah lama malang melintang di dunia kanuragan telah dibuat tercengang oleh pemandangan yang luar biasa. Lelaki tua ini hampir tidak percaya bahwa di kadipaten pesisir utara ini adipati Tuban yang masih muda itu memiliki ajian Tameng Waja, hal itu nampak sesaat setelah senopati Surobahu menghantam dada sang Adipati. Lelaki muda yang diserang itu justru sama sekali tidak menghindar dan tidak menangkis pula.
Namun benturan itu justru telah menggoncangkan dada Surobahu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa tangannya seakan-akan telah membentur dinding baja yang kuat. Pembesar Mataram itu semula berharap bahwa ia akan mematahkan tulang dada adipati Tuban. Namun kini justru dirinyalah yang bagaikan hancur tangannya. Lawannya itu tetap berdiri tegak, bahkan sekilas nampak senyumnya yang membayang di bibir seolah-olah mengejeknya.
"Kurang ajar," geram Surobahu "Ini pasti suatu kebetulan saja."
Sambil meringis menahan sakit senopati itu kini tengah mempersiapkan serangan yang kedua. Dia sama sekali tidak mengerti ilmu apa yang telah dihadapinya, namun apapun yang terjadi dia tidak akan mundur, bukankah yang dilakukannya tadi belumlah puncak dari kemampuan dan kekuatannya.
Bersambung