Mohon tunggu...
Rushans Novaly
Rushans Novaly Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Relawan yang terus menata diri untuk lebih baik

Terus Belajar Memahami Kehidupan Sila berkunjung di @NovalyRushan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Hari Nelayan: Kisah Ayahku, Seorang Nelayan yang Pindah Profesi

6 April 2016   07:38 Diperbarui: 6 Mei 2017   14:28 3954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah kami terletak disisi pantai. Hanya berjarak  seratus meter dari bibir pantai . Ayahku adalah lelaki laut sejak muda.  Ayah tak memiliki perahu sendiri. Perahu yang digunakan hanyalah perahu tradisional yang disebut jukung . Disisi kiri dan kanan terdapat kayu melintang sebagai penyeimbang perahu .

Ayahku melaut memang tidak sendiri, ada seorang kawannya yang selalu ikut. Mereka berdua memang bersahabat. Berangkat menjelang sore lalu kembali ke pantai setelah fajar merekah. Ayahku walau punya pengalaman melaut yang cukup namun tetap saja tak berimbas pada hasil tangkapan. Kadang hasil tangkapannya membuat uang keluarga kami cukup untuk tiga hari , namun tak jarang malah tak cukup walau hanya membeli dua kilogram beras dengan kualitas sedang.

Tak hanya keluarga kami yang hidup terbatas, hampir seluruh nelayan hidup dalam keprihatinan. Memang ada beberapa nelayan yang mampu hidup diatas rata rata, biasanya mereka memiliki beberapa perahu atau kapal. Mereka biasanya akan berubah menjadi pengepul hasil tangkapan para nelayan. Tentu mereka memiliki modal uang yang cukup.

Ayahku tak memiliki modal uang, hidup pas pasan. Menyambung hidup dengan terus melaut. Mengadu nasib ditengah laut seperti berjudi yang tak jelas akan hasil akhirnya. Ayahku akhirnya merubah hidupnya, beralih profesi dengan menjajal menjadi seorang guru sekolah dasar.

Walau saat itu juga hasil menjadi guru taklah lebih baik. Kadang kalau dihitung kalah dengan hasil seorang nelayan. Kadang, ayahku juga masih melaut di waktu waktu senggangnya. Untuk menambal uang keluarga yang sering tak cukup.

Nelayan akan benar benar merana ketika laut tak bersahabat. Ayah menyebutnya musim angin barat. Ombak tinggi seperti mengaduk aduk laut hingga tak ada nelayan yang berani melaut. Kalau sudah begitu, nelayan harus mencari profesi lain sementara waktu. Atau memperbaiki jaring yang rusak dan memperbaiki perahu .


Kehidupan kami yang tak berubah membuat ayah memberanikan diri merantau ke Jakarta. Dengan bekal ijazah guru yang dimilikinya dan koneksi seorang keluarga dekat yang lebih dulu menjadi guru di Jakarta. Ayah mendapat pekerjaan sebagai guru sekolah dasar dibilangan Tanah tinggi , Jakarta pusat.

Awalnya tenaga honorer, namun nasib baik menghampiri keluarga kami. Ayah diangkat menjadi PNS. Kamipun memberanikan diri pindah ke Jakarta. Inilah awal kami menjadi warga Jakarta. Menempati rumah kontrakan di wialayah Kemayoran  yang luasnya 3 X 7 meter.

Ayahku lalu menabung untuk membeli sebidang tanah dan membangunnya menjadi istana mungil dengan ukuran 3 X 9 meter. Kamipun melupakan laut, melupakan pantai yang menjadi sandaran perahu kami, melupakan ikan ikan yang biasa kami gantung di dapur kami .

Profesi nelayan tak lagi disandang ayahku namun kami tak akan pernah lupa pernah menjadi keluarga nelayan di pesisir barat laut Lampung. Sebuah kenangan yang tak akan kami lupakan.

[caption caption="Hasil tangkapan nelayan yang sudah masuk restoran berharga tinggi | Foto : Rushan"]

[/caption]Meradang ketika Makan Ikan laut begitu Mahal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun