Saya baru saja membaca sebuah berita dari politico.eu tentang Albania yang mempertimbangkan masa depan, di mana AI alias kecerdasan buatan bisa menggantikan posisi menteri di pemerintahan. Ini akibat dari masifnya korupsi dan lemahnya pemerintahan di negara Balkan ini.
Kedengarannya sci-fi banget nggak sih? Tapi Perdana Menterinya sendiri, Edi Rama, sempat nyeletuk, sistem seperti ChatGPT memungkinkan mengambilalih tugas-tugas yang sering banget kena 'virus' korupsi. Hmm, menarik nih.
Terus, pikiran saya langsung loncat ke sini, ke negara tercinta kita yang korupsinya juga masif. Bagaimana kalau ide gila dari Albania itu diterapkan di Indonesia?
Mikir a'la Netizen +62
Langsung kebayang kan, gimana ramainya jagat maya? Pasti ada yang langsung teriak "Setuju banget! Daripada pejabatnya sibuk meeting nggak jelas atau malah lebih ngurusin bisnis pribadinya, mendingan algoritma saja yang mikir."
Ada benarnya juga sih. AI kan nggak minta gaji, butuhnya update software doang, nggak bisa disuap (kecuali database-nya diretas, itu urusan lain lagi), dan kerjanya nggak kenal capek. Mereka bisa rapat kabinet 24/7 tanpa drama dan intrik politik. Surga duniawi birokrasi nggak tuh?
Tapi jangan keburu senang dulu. Sisi gelapnya juga nggak kalah seram. Kalau semua keputusan penting diambil alih AI, terus nasib manusia bagaimana?
Apa iya AI bisa mengerti bagaimana rasanya kebanjiran di musim hujan, atau pusingnya mikirin tingginya angka pengangguran di Indonesia?
Jangan-jangan nanti malah kita semua dikasih solusi algoritmik yang nggak nyambung dengan realita. Misalnya, angka pengangguran di Indonesia tinggi. Bukannya menambah lapangan pekerjaan di dalam negeri, algoritmanya malah menyuruh kita mencari kerja di luar negeri. Ehhh..kok kayak familiar ya?
Bye-bye Konflik Kepentingan?
Salah satu poin yang digarisbawahi dari rencana di Albania ini adalah potensi AI buat mengurangi nepotisme dan konflik kepentingan dalam pemerintahan. Ini nih yang di Indonesia kayaknya jadi penyakit menahun.