Dulu, punya gelar sarjana itu seperti menang lotre. Usai lulus kuliah bisa langsung kerja, pendapatan stabil, dan masa depan cerah. Sekarang? Gelar itu cuma tiket masuk buat antre kerjaan yang gajinya bikin kamu mikir dua kali buat makan di luar.
Dulu: Ijazah = Karpet Ajaib Menuju Kesuksesan
Kalau kamu punya gelar sarjana di era 70-an hingga akhir 90-an, dunia seperti tunduk sama kamu. Mau jadi apa? Guru, manajer, teknisi? Tinggal tunjuk. Bahkan kalau jurusanmu agak misterius seperti kajian gender atau sastra Jawa, tetap saja kamu dianggap layak dapat pekerjaan bergengsi.
Kamu datang ke wawancara kerja, bawa ijazah, dan langsung dapat jabatan keren.
"Oh, kamu sarjana? Silakan jadi manajer kami, bahkan meski kamu baru lulus kemarin!"
Saat itu, gelar sarjana seperti tiket emas menuju stabilitas finansial. Kamu bisa beli rumah di umur 20-an, punya kendaraan, dan ikut liburan keluarga tiap tahun.
Perusahaan dulu nggak peduli jurusan apa yang kamu ambil. Bahkan kalau kamu cerita, "Saya belajar bahasa Sansekerta," mereka bakal jawab, "Hebat! Kamu pasti pintar. Tolong kelola pembangkit listrik ini ya."
Dunia seakan percaya pada kekuatan gelar sarjana.
Sekarang: Gelar Tinggi, Harapan Tipis
Selamat datang di realita pahit. Kamu punya dua gelar sarjana, satu master, satu PhD, dan ijazahmu tebal seperti novel. Tapi pekerjaan entry-level saja minta 5 tahun pengalaman kerja.
"Bapak/Ibu, saya lulus dengan predikat cum laude."
"Oh bagus. Tapi apa kamu bisa bekerja di bawah tekanan dengan status PKWT 5 tahun, sambil mengoperasikan Excel tanpa lelah selama 10 jam sehari?"