Lebih rinci, Yanti menjabarkan gejala emosi seperti mudah tersinggung, pemurung, menarik diri dari pergaulan, atau sebaliknya cepat marah untuk hal-hal kecil, tak suka disaingi dan tak suka dibantah. Juga gejala perilaku seperti pendiam, atau justru senang berbicara mengenai kehebatan dirinya di masa lalu, mencela, mengkritik, tak mau kalah, dan mudah terpicu menunjukkan kemarahan baik di rumah maupun di tempat umum.
Dan tentu saja gejala fisik, yaitu sibuk dengan kondisi fisik khususnya kesehatan atau apatis, tampak kuyu, terlihat lebih tua, tubuh lebih lemah dan sakit-sakitan.
Mia menekankan, usia 40 tahun setiap individu sudah selayaknya lebih waspada proses hidupnya di masa datang dan mempersiapkan bekal. Konsultasi dengan ahli dapat dilakukan lima tahun menjelang pensiun dan intervensi dilakukan saat mendekati pensiun untuk mematangkan proses mental yang akan segera dihadapi.
Kedua pakar ini menyarankan langkah pencegahan yang bisa dilakukan dengan cara: mengajak atau mendorong untuk tetap bersosialisasi, turut melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial, dukungan untuk menekuni hobi yang mungkin dulunya tersisih karena kesibukan kerja, mengikuti secara aktif kegiatan keagamaan untuk mendapatkan pencerahan.
"Semangat keikhlasan dalam kondisi ini sangat penting. Perlu dibangun kesadaran bahwa pensiun bukan suatu akhir dalam hidup. Tetapi kondisi untuk memulai sesuatu yang baru," pesan Yanti.
Selain itu, keluarga atau anak mengambil alih peran memperhatikan orangtua yang sudah pensiun atau membangun kerja sama dan semangat kebersamaan menciptakan suatu aktivitas. Dengan mantan kolega, pandai-pandailah menempatkan diri.
"Kuatkan kesadaran dan keihklasan bahwa ada kesempatan untuk berkontribusi penuh dan ada pula waktunya untuk berhenti, pahami bahwa pensiun bukan akhir dari segalanya melainkan awal kehidupan untuk dapat tetap bekerja, pada lahan dan kegiatan yang berbeda, yang penting tetap dapat berbuat sesuatu bagi orang lain. Bisa dilihat sebagai 'the second carrier'", papar Yanti.
Mia mengingatkan, orang terdekat untuk lebih peka dan sebaiknya mampu mengakomodir dan mengarahkan pada kegiatan positif yang membuat hidupnya merasa berarti kembali.
"Sedini mungkin memiliki back up planbisa berupa kegiatan produktif atau dalam rangka menyalurkan hobi. Semakin awal dirintis maka individu tidak akan terus hidup dalam satu sumber kepuasan yang dimilikinya, sehingga saat satu tali putus ada tali lain untuk "dipegang"", ungkapnya kemudian.
Dukungan dari keluarga penting untuk mengangkat kembali semangat hidup. Selanjutnya dorongan dan kemauan yang kuat dari individu sendiri yang akan menggerakkannya mencari hal bermakna bagi hidupnya.
"Hidup dengan rileks tanpa membebani diri sendiri, nikmati pencapaian yang sudah diraih, terus lakukan hal produktif dan bermanfaat, jangan terbelenggu dengan kesuksesan masa lalu," pungkasnya.