Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Adalah Orang-orang yang Berhutang

28 Oktober 2021   23:47 Diperbarui: 31 Oktober 2021   22:30 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Orang yang memohon ampunan, sumber: sangsabda.wordpress.com

Alkisah ada seorang saudagar kaya yang usahanya cukup besar dan dia juga menjalin urusan bisnis dengan sang Raja pada saat itu. Pada suatu waktu si saudagar ini mengalami masalah, usahanya mundur, kondisi keuangannya minus sehingga dia tidak bisa membayar hutang-hutangnya, termasuk hutangnya kepada sang Raja yang sangat besar. 

Setelah ditagih berkali-kali dan si saudagar ini selalu berkelit maka murkalah sang Raja pada saudagar tersebut dan dia disuruh menghadap sang Raja untuk mempertanggungjawabkan hutangnya.

Singkat kata si saudagar tidak mampu membayar hutang akhirnya sang raja memerintahkan punggawanya untuk memasukkan si saudagar ke dalam penjara sampai hutangnya lunas. 

Mendengar keputusan sang Raja tersebut maka menangislah si saudagar dan memohon-mohon belas kasihan pada sang Raja agar dia tidak dimasukkan ke dalam penjara dan dibebaskan dari hutangnya. Melihat kesungguhan hati si saudagar maka tergeraklah hati sang Raja dan timbullah belas kasihan terhadap si saudagar sehingga sang Raja akhirnya membebaskan si saudagar dari hutangnya dan dia tidak jadi dimasukkan ke dalam penjara.

Betapa gembiranya hati si saudagar mendengar keputusan sang Raja yang bijaksana dan murah hati tersebut. Tak henti-hentinya dia bersyukur dan mengucapkan terimakasih atas pembebasan dan pengampunan yang dia terima.

Dengan riang gembira si saudagar undur diri dari hadapan sang Raja dan pulang kembali ke rumahnya. Di tengah perjalanan pulang ke rumah si saudagar bertemu dengan temannya, rupanya si teman ini punya hutang pada si saudagar meskipun tidak banyak.

Si saudagar minta agar temannya ini membayar hutangnya. Namun ternyata si teman ini sedang tidak punya uang dan tidak bisa memenuhi permintaan si saudagar untuk membayar hutangnya. Temannya tersebut memohon belas kasihan dari si saudagar agar dia diberi kelonggaran untuk membayar hutangnya. 

Si saudagar tidak mau percaya begitu saja alasan temannya dan dia tetap menuntut temannya untuk membayar hutangnya saat itu juga. Karena memang tidak punya uang akhirnya si saudagar ini membawa perkara ini kepada hakim agar temannya yang tidak bisa membayar hutang dimasukkan ke dalam penjara sampai hutangnya lunas.

Perkara ini akhirnya sampai ke telinga sang Raja, sehingga Raja menjadi sangat murka karena si saudagar sudah dibebaskan dari hutangnya yang sangat besar namun dia berlaku kejam pada orang yang berhutang kepadanya meskipun jumlahnya jauh lebih kecil.

Akhirnya sang Raja memerintahkan punggawanya untuk menangkap dan menjebloskan si saudagar ke dalam penjara sampai hutangnya lunas.

Kisah diatas bukan cerita di abad 20, namun kisah lama yang sudah lebih dari 20 abad yang lalu disampaikan sebagai sebuah alegori atau perumpamaan. Kisah dalam perumpaan ini mengandung sebuah rahasia besar yang penting dan perlu kita ketahui dalam menjalani kehidupan ini. Namun sayangnya rahasia ini sering terlewatkan dibalik kesederhanaan dan keterbukaannya.

Terkadang kita bersikap seperti si saudagar dalam perumpamaan ini. Kita bersikap arogan terhadap orang lain meskipun sang Raja telah bermurah hati kepada kita.

Kita sebenarnya adalah orang-orang yang berhutang. Seandainya sang Raja tidak mengampuni akan segala kesalahan yang kita perbuat semestinya kita patut menerima hukuman.

Seringkali kita merasa bahwa kita dibebaskan dari segala kesalahan kita karena usaha kita. Sebenarnya usaha kita hanyalah menangis dan memohon-mohon kepada sang Raja agar kita dibebaskan dari hutang-hutang kita.

Usaha kita bukan dengan bekerja keras untuk melunasi hutang-hutang kita, itu tidak akan mungkin cukup untuk melunasi hutang-hutang kita. Bila bukan karena kemurahan hati sang Raja, maka kita tidak mungkin terbebas dari hutang-hutang kita.

Sebenarnya kita adalah orang-orang yang patut menerima hukuman. Kita adalah orang-orang yang berhutang.

Namun seringkali kita seperti si saudagar yang tidak tahu berterimakasih. Kalau sampai hari ini kita masih dalam lindunganNya, diberi kekuatan dan kesehatan, kesejahteraaan dan kecukupan itu karena Dia tidak lagi memperhitungkan kesalahan dan kekhilafan yang kita perbuat.

Sebagai orang yang sudah mendapatkan anugerah -disebut anugerah karena bukan semata-mata usaha kita melainkan pemberian cuma-cuma, seringkali kita menganggap bahwa itu adalah hak keistimewaan kita, kita layak mendapatkannya. Oleh karena itu kita tetap sewenang-wenang bila orang lain berbuat salah kita. Kita menuntut orang yang berbuat salah kepada kita untuk membayar sampai lunas kepada kita.

Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Adil bukan ?

Namun kita lupa, bila semua kesalahan dan kekilafan kita disingkapkan, kita tidak akan mampu membayar lunas semuanya. Kita adalah orang yang berhutang, yang telah dibebaskan oleh sang Raja. Namun kadangkala kita menganggap diri sebagai raja-raja kecil yang harus menuntut balas kepada sesama.

Dalam dunia profesional, semua hak dan kewajiban serta tugas dan tanggung-jawab telah diatur sedemikan rupa sehingga orang yang berbuat salah atau lalai akan mendapatkan hukuman. Ini diperlukan agar sistim sosial-kemasyarakatan dan berbangsa bernegara bisa berjalan dengan baik.

Namun sebagai pribadi dan dalam hubungan antar pribadi atau keluarga, kita bisa memilih sikap yang akan kita ambil. Apakah kita akan bermurah hati dan tidak lagi memperhitungkan kesalahan orang lain atau sebaliknya kita menuntut balas yang setimpal.

Bersikap murah hati dan tidak memperhitungkan kesalahan orang lain terkadang bukan merupakan perkara yang mudah. Kadang orang yang telah menyakiti hati kita merasa biasa saja. Boro-boro minta maaf, mereka bahkan tidak merasa bersalah, cuek, santuy dan selow saja.

Bisa saja kita yang tadinya mau menerima perlakuan mereka yang menyakitkan jadi tersulut emosi lagi. Kita jengkel dan mangkel, jangan-jangan mereka akan mengulang perlakukan yang menyakitkan kepada kita.

Kelakukan seperti itu terkadang juga kita lakukan terhadap sang Raja yang telah membebaskan kita. Kita tidak merasa sebagai orang yang berhutang lagi. Kita tidak lagi menghargai kemurahan hati sang Raja yang telah membebaskan kita dari ancaman hukuman karena kita berpikir memang seharusnya demikian.

Jadi jangan terbakar emosi bila kemurahan hati kita dianggap murahan. Terkadang mengampuni dan menerima kesalahan orang lain tidak cukup dilakukan hanya sekali. Namun harus terus diulang-ulang sampai kita merasa benar-benar mampu melepaskan pengampunan kepada mereka.

Melepaskan pengampunan kepada mereka bukan tindakan yang sia-sia. Dengan melakukan itu berarti kita telah membuang kepahitan dan racun dalam diri kita. Kita akan menjadi lebih sehat dan lebih kuat, dan yang paling penting tidak terkungkung dalam masa lalu dan kepahitan yang merusak hidup kita.

Mudah teorinya, namun sangat sulit mempraktekkannya. Ini juga reminder bagi diri saya sendiri, jangan sampai terjadi “Gajah diblangkoni, iso kotbah ora iso nglakoni”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun