Namun sebagai pribadi dan dalam hubungan antar pribadi atau keluarga, kita bisa memilih sikap yang akan kita ambil. Apakah kita akan bermurah hati dan tidak lagi memperhitungkan kesalahan orang lain atau sebaliknya kita menuntut balas yang setimpal.
Bersikap murah hati dan tidak memperhitungkan kesalahan orang lain terkadang bukan merupakan perkara yang mudah. Kadang orang yang telah menyakiti hati kita merasa biasa saja. Boro-boro minta maaf, mereka bahkan tidak merasa bersalah, cuek, santuy dan selow saja.
Bisa saja kita yang tadinya mau menerima perlakuan mereka yang menyakitkan jadi tersulut emosi lagi. Kita jengkel dan mangkel, jangan-jangan mereka akan mengulang perlakukan yang menyakitkan kepada kita.
Kelakukan seperti itu terkadang juga kita lakukan terhadap sang Raja yang telah membebaskan kita. Kita tidak merasa sebagai orang yang berhutang lagi. Kita tidak lagi menghargai kemurahan hati sang Raja yang telah membebaskan kita dari ancaman hukuman karena kita berpikir memang seharusnya demikian.
Jadi jangan terbakar emosi bila kemurahan hati kita dianggap murahan. Terkadang mengampuni dan menerima kesalahan orang lain tidak cukup dilakukan hanya sekali. Namun harus terus diulang-ulang sampai kita merasa benar-benar mampu melepaskan pengampunan kepada mereka.
Melepaskan pengampunan kepada mereka bukan tindakan yang sia-sia. Dengan melakukan itu berarti kita telah membuang kepahitan dan racun dalam diri kita. Kita akan menjadi lebih sehat dan lebih kuat, dan yang paling penting tidak terkungkung dalam masa lalu dan kepahitan yang merusak hidup kita.
Mudah teorinya, namun sangat sulit mempraktekkannya. Ini juga reminder bagi diri saya sendiri, jangan sampai terjadi “Gajah diblangkoni, iso kotbah ora iso nglakoni”.