Mohon tunggu...
Rudy Chandra
Rudy Chandra Mohon Tunggu... Dosen - Menjadi Pribadi yang Aktif & Positif

Rudi Candra lahir di kabupaten Jember, pada bulan Mei 1983, menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Al-Azhar Mesir dalam bidang Tafsir dan Studi Al-Qur'an, sedangkan pada strata S2 diselesaikan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pada bidang studi ilmu Hubungan Internasional. Saat ini berprofesi sebagai pendidik di Universitas Darussalam Gontor Ponorogo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

RUU Pesantren, Saat Identitas Santri Diakui

26 September 2019   16:45 Diperbarui: 23 Oktober 2019   15:50 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kunjungan Prof. Dr. Sharief Saad Al-Gayyar di Pondok Pesantren Gontor (oleh: Rudi Candra, 13/09/2014)

Ironi memang, lembaga pendidikan yang lahir, berkembang dan besar di Nusantara; jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, nyatanya hari-hari ini baru mendapatkan legalitas eksistensinya. Itulah lembaga pendidikan Pesantren.

Pesantren yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai dengan "asrama tempat santri belajar mengaji", memang terlihat jauh berbeda jika dibandingkan dengan institusi pendidikan formal pada umumnya.

Jika pada pendidikan formal, materi pelajaran yang diajarkan lebih terfokus pada peningkatan kemampuan kognitif (akal) yang kemudian diikuti dengan kemampuan afektif (emosi) dan psikomotorik (perbuatan) pada peserta didik. Sedangkan di pesantren, pengajaran yang bersifat kognitif, afektif dan psikomotorik memang tetap ada, tapi tujuan pendidikan yang bermuara pada penanaman akhlakul karimah pada santri adalah hal utama dan menjadi unggulan.

Di sinilah yang menjadikan basis kurikulum pendidikan dan pengajaran di dua institusi berbeda. Jika pada lembaga formal pendidikan agama terasa 'dinomor-duakan' sedangkan pada lembaga pesantren, inti pendidikan utamanya justru materi-materi agama.

Mungkin, alasan-alasan inilah yang menjadikan pemerintah selama ini, belum banyak mengapresiasi untuk kemudian memberikan sertifikasi pada lembaga pendidikan Pesantren.

Padahal, jika kita melihat produk lulusan Pesantren, nyatanya banyak alumni Pesantren yang secara kualitas tidak kalah dengan lulusan pendidikan formal. Dibuktikan dari beberapa nama Menteri/Wakil Menteri yang mengisi kabinet kerja Jokowi, adalah lulusan dari Pesantren. Bahkan kalau kita tilik sejarah, faktanya bangsa Indonesia juga pernah dipimpin oleh seorang presiden yang lahir dari instansi pendidikan Pesantren.

Tidak adanya pengakuan pemerintah pada lembaga Pesantren, menjadikan mayoritas lulusan pesantren lebih memilih melanjutkan studi di luar negeri, terutama di kampus-kampus Timur Tengah. 

Selain karena  telah diakuinya ijazah Pesantren di beberapa perguruan tinggi tersebut, juga secara kurikulum, materi-materi yang dulu diajarkan di Pesantren terlihat lebih sesuai dengan mata kuliah yang diajarkan di kampus-kampus Timur Tengah dibandingkan dengan perguruan tinggi dalam negeri.

Inilah hikmah di balik tidak diakuinya instansi Pesantren oleh pemerintah, selain hikmah-hikmah lain; seperti kemandirian pembiayaan dan nihilnya intervensi pemerintah terhadap kondisi internal Pesantren.

Tapi ini semua adalah cerita lama, kini RUU Pesantren telah disahkan oleh DPR pada sidang Paripurna yang berlangsung pada tanggal 24 September 2019.

Sebagai alumni dari Pesantren, ada perasaan bahagia dan bangga, bahwa akhirnya pemerintah tidak lagi melihat institusi Pesantren dengan pandangan sebelah mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun