Mohon tunggu...
Rudi Santoso
Rudi Santoso Mohon Tunggu... Dosen Hukum Tata Negara UIN Raden Intan Lampung II Nahdlatul Ulama

Berbuatlah sesukamu, tetapi ingatlah bahwa engkau akan mati...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

HTN dan HAN dalam Perspektif Konstitusi

24 Juni 2025   20:11 Diperbarui: 24 Juni 2025   20:11 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rudi Santoso (Dosen Hukum Tata Negara UIN Raden Intan Lampung)

Dalam sistem hukum Indonesia, Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) menempati posisi yang sangat strategis. Keduanya merupakan cabang dari hukum publik yang menjadi fondasi bagi penyelenggaraan negara. Namun, relasi keduanya sering kali dipahami secara terpisah atau bahkan saling tumpang tindih. Padahal, dalam perspektif konstitusi, HTN dan HAN merupakan satu kesatuan yang utuh dalam memastikan tegaknya negara hukum, terjaminnya kedaulatan rakyat, dan optimalnya pelayanan publik. Melalui kacamata konstitusi, hubungan HTN dan HAN bukan sekadar teknis birokratis, tetapi menyangkut legitimasi dan akuntabilitas kekuasaan negara di mata rakyat.

HTN pada hakikatnya adalah hukum yang mengatur struktur dan pembagian kekuasaan negara. Ia menjadi landasan yuridis bagi eksistensi lembaga-lembaga negara seperti Presiden, DPR, MPR, Mahkamah Konstitusi, dan sebagainya. Dalam konteks Indonesia, UUD NRI Tahun 1945 adalah sumber utama dari HTN. Melalui konstitusi, HTN merumuskan prinsip dasar negara hukum, kedaulatan rakyat, pemisahan kekuasaan, serta hak dan kewajiban warga negara.

HTN tidak hanya berfungsi sebagai aturan dasar tentang bagaimana kekuasaan dijalankan, tetapi juga sebagai pengendali agar kekuasaan tidak disalahgunakan. Dengan kata lain, HTN meletakkan batas-batas konstitusional yang wajib dipatuhi oleh semua penyelenggara negara. Di sinilah HTN berperan sebagai benteng konstitusi (the constitutional bulwark) yang menjaga keadilan dan demokrasi.

Jika HTN berfungsi sebagai arsitek kekuasaan negara, maka HAN adalah pelaksana teknis dari kekuasaan itu. HAN mengatur bagaimana lembaga-lembaga pemerintahan melaksanakan tugas dan kewenangan administratifnya. Ini mencakup segala bentuk keputusan, tindakan, dan kebijakan pemerintah yang bersifat individual atau konkret, mulai dari pengangkatan PNS, izin usaha, sampai pencabutan hak atas tanah.

HAN berorientasi pada kepastian hukum dalam pelayanan publik. Dalam konteks ini, HAN berfungsi sebagai penjaga prinsip legalitas, rasionalitas, dan proporsionalitas dalam tindakan administratif negara. HAN juga menyediakan mekanisme korektif melalui lembaga peradilan tata usaha negara (PTUN), sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negara dari potensi tindakan sewenang-wenang pemerintah.

Konstitusi tidak hanya menjadi sumber utama HTN, tetapi juga menjadi payung normatif bagi HAN. Dalam pasal-pasal tertentu, UUD 1945 memuat prinsip-prinsip administrasi negara yang bersih, akuntabel, dan transparan. Misalnya, Pasal 28D ayat (1) menjamin perlindungan hukum yang adil, yang relevan dengan perlindungan hukum administratif. Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang berarti semua tindakan pemerintahan harus berdasarkan hukum, termasuk tindakan administratif.

Dengan demikian, dalam perspektif konstitusi, HTN dan HAN berada dalam satu garis linier. HTN menyusun struktur kekuasaan, sementara HAN memastikan struktur itu bekerja secara administratif sesuai hukum dan etika pelayanan. Relasi ini saling menguatkan, tidak bisa dipisahkan secara kaku. Dalam tataran normatif, keduanya berakar dari konstitusi yang sama. Dalam tataran praktis, keduanya saling mendukung untuk memastikan negara berjalan dengan baik.

Dalam sejarahnya, relasi HTN dan HAN pernah dipahami secara hirarkis. HTN dianggap lebih tinggi karena bersumber dari konstitusi, sedangkan HAN hanya pelengkap teknis. Namun, perkembangan hukum modern menunjukkan bahwa keduanya setara secara fungsional. Tidak ada HTN yang efektif tanpa HAN yang efisien. Demikian pula, HAN tidak akan sah secara konstitusional tanpa kerangka HTN yang kuat.

Paradigma ini menjadi semakin nyata pasca reformasi. Lahirnya lembaga-lembaga baru seperti Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi adalah contoh bagaimana HTN bertransformasi. Di sisi lain, munculnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menandai kebangkitan HAN sebagai instrumen penting untuk menciptakan pemerintahan yang bersih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun