Mohon tunggu...
Rudi Santoso
Rudi Santoso Mohon Tunggu... Dosen Hukum Tata Negara UIN Raden Intan Lampung II Nahdlatul Ulama

Berbuatlah sesukamu, tetapi ingatlah bahwa engkau akan mati...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pusing Banyak Punjungan, Hajatan Jadi Ladang Bisnis

15 Juni 2025   20:54 Diperbarui: 15 Juni 2025   21:10 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rudi Santoso

Di banyak desa saat ini, hajatan telah mengalami pergeseran makna. Tradisi yang dulu sakral dan bermakna sebagai bentuk syukur, silaturahmi, dan gotong royong, kini perlahan menjelma menjadi ajang yang membingungkan dan membebani. Warga menyebutnya dengan istilah yang semakin populer yaitu punjungan/tonjokan.

Punjungan atau sumbangan yang dibawa saat menghadiri hajatan kini tidak lagi terbatas pada keluarga dekat atau tokoh masyarakat. Siapa pun bisa mengundang siapa pun bahkan yang tidak saling kenal secara pribadi. Tidak jarang dalam satu hari seseorang bisa menerima empat sampai lima undangan hajatan mulai dari sunatan, hingga pernikahan dan semua itu dalam bentuk punjungan.

Bagi warga yang memiliki penghasilan cukup hal ini mungkin dianggap sepele atau sebagai bentuk partisipasi sosial. Tapi bagaimana dengan buruh tani, pekerja harian, atau pedagang kecil yang sehari-hari hanya membawa pulang uang seratus ribu sampai seratus tiga puluh ribu rupiah. Saat lima undangan datang dalam satu hari nyaris seluruh pendapatan habis untuk urusan sosial yang sulit ditolak karena tekanan lingkungan.

Fenomena ini bukan lagi sekadar kebiasaan, tetapi sudah menjurus pada ketimpangan dan ketidakadilan sosial. Dahulu punjungan dilakukan sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian. Biasanya dibawa oleh kerabat dekat atau tetangga dekat dan dikirim menggunakan rantang berisi makanan yang lezat dan penuh perhatian. Ada ayam kampung, kue buatan sendiri, nasi gurih, dan lauk lainnya. Rantang bukan hanya wadah, melainkan lambang kedekatan dan kepedulian.

Sekarang punjungan justru menjadi paket formalitas yang diisi sekadarnya. Isinya sering hanya satu mie instan, sebutir telur, kopi gula aren sachet dan nasi satu genggam tangan dalam besek, tidak ada kedekatan, tidak ada interaksi. Yang penting datang, setor punjungan, lalu pulang.

Yang lebih ironis, hajatan kini sering kali dianggap sebagai bentuk investasi sosial. Banyak warga yang menggelar hajatan dengan biaya besar bukan semata karena ingin bersyukur, tetapi karena berharap balasan punjungan dari para tamu. Ada hitung-hitungan yang melatarinya. Undangan punjungan dua hingga tiga ribu orang, rata-rata punjungan lima puluh ribu rupiah, jadi perkiraan hingga 150 juta, Hajatan pun berubah fungsi dari syukuran menjadi kalkulasi keuntungan.

Tidak jarang tamu yang tidak dikenal pun tetap diundang dengan harapan mereka ikut menyumbang. Maka tidak aneh jika satu keluarga kecil bisa menerima undangan dari RT sebelah, dusun lain, bahkan desa tetangga yang tidak pernah mereka datangi sebelumnya. Ketika ditanya, kenal dari mana, jawabannya sering hanya katanya masih saudara jauh dari istri sepupu tetangga. Silaturahmi menjadi kabur, tetapi kewajiban sosialnya tetap menempel.

Dalam kondisi seperti ini, hukum sosial tidak tertulis terasa lebih keras daripada hukum negara. Tidak datang ke hajatan atau tidak memberi punjungan dianggap tidak sopan, tidak tahu balas budi, bahkan tidak paham adat. Padahal sebagian masyarakat sebenarnya sedang menjerit dalam diam. Mereka ingin datang dan menghormati, tetapi kemampuan ekonomi tidak mendukung.

Pertanyaannya, sampai kapan tradisi seperti ini terus berlangsung tanpa koreksi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun