Rudi Santoso
Di banyak desa saat ini, hajatan telah mengalami pergeseran makna. Tradisi yang dulu sakral dan bermakna sebagai bentuk syukur, silaturahmi, dan gotong royong, kini perlahan menjelma menjadi ajang yang membingungkan dan membebani. Warga menyebutnya dengan istilah yang semakin populer yaitu punjungan/tonjokan.
Punjungan atau sumbangan yang dibawa saat menghadiri hajatan kini tidak lagi terbatas pada keluarga dekat atau tokoh masyarakat. Siapa pun bisa mengundang siapa pun bahkan yang tidak saling kenal secara pribadi. Tidak jarang dalam satu hari seseorang bisa menerima empat sampai lima undangan hajatan mulai dari sunatan, hingga pernikahan dan semua itu dalam bentuk punjungan.
Bagi warga yang memiliki penghasilan cukup hal ini mungkin dianggap sepele atau sebagai bentuk partisipasi sosial. Tapi bagaimana dengan buruh tani, pekerja harian, atau pedagang kecil yang sehari-hari hanya membawa pulang uang seratus ribu sampai seratus tiga puluh ribu rupiah. Saat lima undangan datang dalam satu hari nyaris seluruh pendapatan habis untuk urusan sosial yang sulit ditolak karena tekanan lingkungan.
Fenomena ini bukan lagi sekadar kebiasaan, tetapi sudah menjurus pada ketimpangan dan ketidakadilan sosial. Dahulu punjungan dilakukan sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian. Biasanya dibawa oleh kerabat dekat atau tetangga dekat dan dikirim menggunakan rantang berisi makanan yang lezat dan penuh perhatian. Ada ayam kampung, kue buatan sendiri, nasi gurih, dan lauk lainnya. Rantang bukan hanya wadah, melainkan lambang kedekatan dan kepedulian.
Sekarang punjungan justru menjadi paket formalitas yang diisi sekadarnya. Isinya sering hanya satu mie instan, sebutir telur, kopi gula aren sachet dan nasi satu genggam tangan dalam besek, tidak ada kedekatan, tidak ada interaksi. Yang penting datang, setor punjungan, lalu pulang.
Yang lebih ironis, hajatan kini sering kali dianggap sebagai bentuk investasi sosial. Banyak warga yang menggelar hajatan dengan biaya besar bukan semata karena ingin bersyukur, tetapi karena berharap balasan punjungan dari para tamu. Ada hitung-hitungan yang melatarinya. Undangan punjungan dua hingga tiga ribu orang, rata-rata punjungan lima puluh ribu rupiah, jadi perkiraan hingga 150 juta, Hajatan pun berubah fungsi dari syukuran menjadi kalkulasi keuntungan.
Tidak jarang tamu yang tidak dikenal pun tetap diundang dengan harapan mereka ikut menyumbang. Maka tidak aneh jika satu keluarga kecil bisa menerima undangan dari RT sebelah, dusun lain, bahkan desa tetangga yang tidak pernah mereka datangi sebelumnya. Ketika ditanya, kenal dari mana, jawabannya sering hanya katanya masih saudara jauh dari istri sepupu tetangga. Silaturahmi menjadi kabur, tetapi kewajiban sosialnya tetap menempel.
Dalam kondisi seperti ini, hukum sosial tidak tertulis terasa lebih keras daripada hukum negara. Tidak datang ke hajatan atau tidak memberi punjungan dianggap tidak sopan, tidak tahu balas budi, bahkan tidak paham adat. Padahal sebagian masyarakat sebenarnya sedang menjerit dalam diam. Mereka ingin datang dan menghormati, tetapi kemampuan ekonomi tidak mendukung.
Pertanyaannya, sampai kapan tradisi seperti ini terus berlangsung tanpa koreksi
Tradisi seharusnya menjadi sarana penguat nilai, bukan pemicu tekanan sosial. Hajatan yang dulunya sederhana dan bermakna kini sering kali menjadi ajang pamer kemewahan dan uji gengsi. Bahkan terkadang utang menjadi jalan pintas demi menggelar pesta yang terlihat layak.
Sudah waktunya masyarakat desa mulai merenungkan ulang nilai sejati dari hajatan dan punjungan. Apakah masih menjadi lambang syukur dan silaturahmi atau justru telah melenceng menjadi beban yang mengorbankan banyak orang
Solusinya bukan menghapus tradisi, melainkan mengembalikannya ke akarnya. Hajatan tidak harus mewah, punjungan tidak harus besar. Cukup disesuaikan dengan kemampuan dan hubungan emosional yang nyata. Tidak semua orang harus diundang, dan tidak semua tamu harus memberi. Jika mampu, silakan. Jika tidak, cukup doa dan kehadiran. Bukankah silaturahmi lebih bermakna daripada isi amplop
Pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan lembaga adat perlu turun tangan. Buat panduan sosial yang bijak, bukan aturan baku, melainkan pedoman moral agar hajatan kembali menjadi bentuk syukur, bukan ajang transaksi.
Masyarakat desa punya kekuatan untuk berubah asal ada kesadaran bersama. Sebab kalau tidak, punjungan akan terus menjadi siklus yang menggerus bukan hanya isi dompet, tetapi juga nilai kebersamaan yang dulu sangat dijaga.
Mari kita jujur. Hajatan memang membahagiakan bagi yang punya acara. Tapi bagaimana dengan mereka yang datang dengan dompet tipis dan senyum terpaksa Bukankah itu juga bagian dari realita yang perlu diperhatikan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI