Tradisi seharusnya menjadi sarana penguat nilai, bukan pemicu tekanan sosial. Hajatan yang dulunya sederhana dan bermakna kini sering kali menjadi ajang pamer kemewahan dan uji gengsi. Bahkan terkadang utang menjadi jalan pintas demi menggelar pesta yang terlihat layak.
Sudah waktunya masyarakat desa mulai merenungkan ulang nilai sejati dari hajatan dan punjungan. Apakah masih menjadi lambang syukur dan silaturahmi atau justru telah melenceng menjadi beban yang mengorbankan banyak orang
Solusinya bukan menghapus tradisi, melainkan mengembalikannya ke akarnya. Hajatan tidak harus mewah, punjungan tidak harus besar. Cukup disesuaikan dengan kemampuan dan hubungan emosional yang nyata. Tidak semua orang harus diundang, dan tidak semua tamu harus memberi. Jika mampu, silakan. Jika tidak, cukup doa dan kehadiran. Bukankah silaturahmi lebih bermakna daripada isi amplop
Pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan lembaga adat perlu turun tangan. Buat panduan sosial yang bijak, bukan aturan baku, melainkan pedoman moral agar hajatan kembali menjadi bentuk syukur, bukan ajang transaksi.
Masyarakat desa punya kekuatan untuk berubah asal ada kesadaran bersama. Sebab kalau tidak, punjungan akan terus menjadi siklus yang menggerus bukan hanya isi dompet, tetapi juga nilai kebersamaan yang dulu sangat dijaga.
Mari kita jujur. Hajatan memang membahagiakan bagi yang punya acara. Tapi bagaimana dengan mereka yang datang dengan dompet tipis dan senyum terpaksa Bukankah itu juga bagian dari realita yang perlu diperhatikan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI