Rudi Santoso ( LTN NU PWNU Lampung / Komisi Infokom MUI Lampung / Dosen Hukum Tata Negara UIN Raden Intan Lampung)
Setiap datangnya Hari Raya Idul Adha, umat Islam di seluruh dunia merayakan hari besar ini dengan penuh suka cita. Sebagian menunaikan ibadah kurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan pengabdian kepada sesama. Namun, seiring dengan masifnya penggunaan media sosial, muncul fenomena baru yang cukup menggelitik sekaligus mengkhawatirkan orang yang baru pertama kali berkurban, langsung mengabadikannya dalam belasan selfie, lengkap dengan caption religius yang dibumbui tagar-tagar pujian diri. Lantas, timbul pertanyaan mendasar di mana letak keikhlasan dari ibadah kurban itu sendiri?
Kurban dalam ajaran Islam adalah simbol puncak penghambaan dan cinta kepada Allah. Ia menuntut ketulusan hati dan pengorbanan harta demi mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Nabi Ibrahim AS adalah figur utama yang mengajarkan bahwa cinta kepada Allah harus mampu mengalahkan cinta pada yang lain, bahkan terhadap anak yang sangat dicintai. Maka, kurban bukan sekadar aktivitas menyembelih hewan, tapi ujian spiritual untuk membuktikan keikhlasan. Jika ibadah ini dikomersialkan dalam bentuk citra diri, bukankah esensi pengorbanannya menjadi pudar?
Fenomena pamer kurban melalui media sosial sebetulnya bukan hal baru. Namun, yang menjadi sorotan adalah ketika publikasi tersebut lebih menonjolkan diri daripada pesan kepedulian. Seseorang yang baru pertama kali berkurban seakan menjadikan momen itu sebagai panggung pencitraan pose dengan hewan kurban, senyum lebar di depan kamera, unggahan berurutan dengan ucapan penuh kebanggaan. Jika tidak hati-hati, ini bisa menjurus pada riya, yakni memperlihatkan amal untuk mendapatkan pujian manusia, sesuatu yang dalam Islam sangat dikecam.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa riya adalah penyakit hati yang halus, yang bisa merusak amal ibadah meskipun tampak mulia dari luar. Bahkan ia menyebutkan bahwa riya adalah syirik kecil, karena menduakan tujuan ibadah: tidak semata-mata karena Allah, tapi karena ingin dilihat orang lain. Maka dari itu, publikasi kurban harus dilakukan dengan niat yang sangat jernih. Jika tujuannya untuk menginspirasi orang lain atau memotivasi berkurban, itu bisa menjadi kebaikan. Tapi jika tujuan utamanya adalah “pamer”, maka niat itu perlu dikoreksi.
Tentu tidak semua dokumentasi atau unggahan kurban otomatis bernilai negatif. Dalam dunia dakwah digital, visualisasi ibadah bisa menjadi sarana edukasi dan penyemangat. Namun, niat tetap menjadi tolok ukur utama. Seperti kata Umar bin Khattab RA: “Barang siapa yang amalnya karena Allah, maka cukup Allah yang menilainya. Tapi barang siapa yang amalnya karena manusia, maka biarlah manusia yang membalasnya.” Kita dituntut untuk jujur dalam bertanya kepada diri sendiri: untuk siapa aku berkurban, dan untuk siapa aku memamerkannya?
Lebih dari itu, kurban seharusnya melatih kita untuk rendah hati dan semakin peduli pada sesama. Esensinya terletak pada kepedulian terhadap kaum fakir yang membutuhkan. Jika setelah berkurban, seseorang justru sibuk membanggakan diri, merasa lebih baik dari yang belum mampu, bahkan merendahkan orang lain di media sosial, maka makna kurban tidak benar-benar menyentuh jiwanya. Ibadah sejati tidak melahirkan kesombongan, tapi menjadikan hati semakin lembut dan lapang.
Dalam konteks sosial, kurban adalah jembatan cinta antara si kaya dan si miskin. Daging yang dibagikan adalah tanda kasih sayang dan solidaritas kemanusiaan. Kurban bukan kompetisi siapa yang hewannya lebih besar, siapa yang lebih banyak difoto, atau siapa yang paling cepat mengunggahnya ke dunia maya. Justru, semakin diam ia dalam berbagi, semakin besar nilainya di hadapan Allah. Sebab cinta sejati tidak butuh sorotan lampu kamera untuk menunjukkan eksistensinya.
Kurban adalah tentang keikhlasan. Jika seseorang baru sekali berkurban, itu sudah sangat baik dan patut disyukuri. Tapi tak perlu diiringi dengan ekspektasi pengakuan dari orang lain. Biarlah kurban itu menjadi rahasia indah antara hamba dan Tuhannya. Kalaupun ingin berbagi kabar, lakukanlah dengan niat tulus untuk mengajak dan menginspirasi, bukan untuk mengangkat diri sendiri. Karena dalam setiap tetes darah kurban, seharusnya ada cinta yang mengalir diam-diam, bukan pujian yang berserakan di kolom komentar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI