Surabaya -- Demokrasi sejatinya hadir untuk melindungi dan mengayomi setiap warga negara dalam menyampaikan aspirasi, bukan sebaliknya menjadi ancaman bagi keselamatan rakyat. Namun, tragedi yang terjadi pada 28 Agustus 2025 lalu menjadi catatan kelam yang seakan menegaskan bahwa cita-cita demokrasi di negeri ini tengah berada di ujung tanduk.
Seorang pengemudi ojek online dinyatakan meninggal dunia setelah mengalami insiden tragis dalam aksi penyampaian aspirasi yang diwarnai tindakan represif aparat kepolisian. Peristiwa ini sontak mengundang gelombang duka sekaligus kemarahan dari berbagai kalangan, baik masyarakat sipil, aktivis, maupun organisasi mahasiswa.
Salah satu suara tegas datang dari Puguh Alexander, Menteri Luar Negeri Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Wijaya Putra. Dalam pernyataannya, Puguh menilai kematian seorang rakyat kecil yang mencari nafkah sebagai ojek online merupakan potret nyata rapuhnya demokrasi di Indonesia.
"Kematian seorang ojek online akibat tindakan represif aparat bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tetapi juga bukti gugurnya demokrasi kita. Aparat seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan justru menjadi pihak yang menebar ancaman terhadap keselamatan warganya," tegas Puguh.
Menurutnya, demokrasi tidak hanya berhenti pada jargon kebebasan berpendapat yang tertera dalam konstitusi, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Ketika aparat justru menggunakan kekerasan terhadap warga sipil, maka demokrasi itu sendiri sedang dipertaruhkan.
Lebih jauh, Puguh Alexander menambahkan bahwa tragedi ini seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk melakukan evaluasi besar-besaran. BEM Universitas Wijaya Putra mendesak agar peristiwa tersebut diusut secara transparan dan tuntas, serta menuntut pertanggungjawaban penuh dari pihak berwenang agar tidak ada lagi korban berikutnya yang jatuh sia-sia.
Selain itu, ia menyoroti bahwa kasus ini menambah daftar panjang problematika relasi negara dan rakyat. Demokrasi yang seharusnya menjamin hak konstitusional warga untuk bersuara, kini justru dibungkam dengan cara-cara represif. "Jika kondisi seperti ini terus berulang, maka apa arti demokrasi yang selama ini kita banggakan?" pungkasnya.
Tragedi meninggalnya ojek online ini seharusnya tidak dilihat semata-mata sebagai peristiwa insidental, melainkan sebagai tanda bahaya bahwa ada krisis serius dalam implementasi demokrasi di Indonesia. Demokrasi tidak boleh hanya hidup di atas kertas, melainkan harus benar-benar hadir sebagai sistem yang menjamin perlindungan, keadilan, dan keselamatan warga negara.
Dengan demikian, gugurnya seorang rakyat kecil di tangan aparat negara bukan hanya kehilangan bagi keluarga korban, tetapi juga tamparan keras bagi seluruh bangsa. Ia adalah simbol bahwa demokrasi akan benar-benar mati apabila kekuasaan negara terus dijalankan dengan tangan besi, tanpa keberpihakan pada rakyatnya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI