Fenomena cancel culture belakangan semakin sering kita dengar di ruang publik. Istilah ini merujuk pada tindakan mengucilkan, menghentikan dukungan, bahkan "menghapus" seseorang dari ruang sosial karena dianggap melakukan kesalahan, baik di dunia nyata maupun di media digital. Jika sebelumnya cancel culture lebih banyak menimpa figur publik, selebriti, atau tokoh politik, kini dampaknya juga mulai merambah ke dunia pendidikan, termasuk profesi guru.
Sebagai seorang guru, saya melihat fenomena ini mengandung dua sisi yang perlu dicermati secara jernih. Di satu sisi, cancel culture dapat menjadi bentuk kontrol sosial yang menuntut transparansi, tanggung jawab, serta keteladanan moral seorang pendidik. Masyarakat kini lebih berani bersuara ketika ada perilaku guru yang dianggap melanggar etika, diskriminatif, atau menyakiti peserta didik. Ini sejalan dengan semangat zaman yang menuntut pendidikan berlandaskan penghargaan terhadap martabat manusia.
Namun di sisi lain, cancel culture juga membawa potensi ketidakadilan. Tidak jarang seorang guru langsung mendapat cap buruk di ruang publik hanya karena potongan video singkat, kesalahpahaman di media sosial, atau isu yang belum diverifikasi kebenarannya. Padahal, profesi guru sangat erat dengan interaksi sehari-hari yang kompleks, penuh dinamika, dan rentan disalahartikan. Dalam situasi seperti ini, cancel culture bisa berubah menjadi vonis sosial yang menutup ruang klarifikasi dan perbaikan.
bagaimana sebaiknya kita menyikapi fenomena ini?
Pertama, penting bagi guru untuk melek digital dan memahami bahwa rekam jejak di media sosial tidak bisa dianggap sepele. Setiap kata, sikap, atau tindakan bisa direkam dan disebarkan. Karena itu, kehati-hatian dalam bersikap bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan.
Kedua, sekolah dan lembaga pendidikan perlu membangun mekanisme penyelesaian masalah yang adil. Alih-alih langsung menghakimi, setiap dugaan pelanggaran etika guru seharusnya ditangani dengan prosedur yang transparan, memberikan kesempatan klarifikasi, dan tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.
Ketiga, fenomena ini seharusnya dijadikan momentum refleksi bersama. Guru, siswa, dan masyarakat perlu memahami bahwa pendidikan adalah ruang belajar, bukan ruang penghakiman. Kesalahan memang tidak bisa dibenarkan, tetapi setiap kesalahan seharusnya menjadi pintu untuk perbaikan, bukan sekadar alasan untuk "menghapus" seseorang.
Pada akhirnya, cancel culture dalam dunia keguruan seharusnya menjadi pengingat, bukan penghukum. Guru adalah manusia yang juga bisa salah, tetapi peran mereka terlalu penting untuk sekadar "dihapus" begitu saja. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan antara kritik dan empati, antara teguran dan dukungan. Dengan begitu, dunia pendidikan tetap bisa menjadi ruang yang sehat, aman, dan mendewasakan semua pihak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI