Mohon tunggu...
Rudi Nofindra
Rudi Nofindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Biasa

" Fokus pada perjalanan, bukan tujuan." - Greg Anderson

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurikulum Konten VS Kurikulum Berfikir

3 Oktober 2022   05:07 Diperbarui: 3 Oktober 2022   05:13 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok Pribadi - Pelaksanaan Program Organisasi Penggerak PP IGI 

Guru adalah kurikulum itu sendiri, maka penting mengajarkan bagaimana berfikir bukan sekadar konten. Pentingnya berfikir sebelum konten oleh Terry Heick  dalam sebuah tulisan kritisnya berjudul Thinking is troublesome menjadi jalan inspirasi bagi saya untuk memulai catatan saya tentang pemikiran dan bagaimana guru era kini. 

Berfikir adalah sesuatu tindakan yang melintasi ruang dan waktu, tentang masa lalu tetapi kita juga cenderung berfikir tentang apa terjadi dimasa datang. Belajar merupakan manifestasi dari berfikir yang menolak atas keseragaman. Namun  tidak begitu dengan pendidikan. Sekolah sebagai lingkungan belajar justru bertolak belakang dengan fikiran. Kita diatur dalam skema  untuk memahami kemudian merespon meski sesungguhnya kita memiliki karakter yang beragam berikut pengalaman. Hal ini sama halnya dengan estetis yang kita dipaksa untuk mengatakan cantik lalu dipaksa jatuh cinta, meski ia tak mengetahui esensinya.

Pendidikan memiliki masalah pemikiran. Pendidikan menuntun untuk memahami, apakah menunjukkan rasa ingin tahu atau kita sedang berfikir? Sering terjadi pada ruang-ruang kelas untuk mengukur tentang pemikiran bukanlah menjadi sebuah prioritas tapi melainkan pemahaman terhadap konten.  

Salah satu respon ketika hal ini dipertanyakan, jawabannya adalah berfikir merupakan hanya kata kerja belaka yang ditemukan dalam kata kerja operasional, ditemukan dalam pertanyaan terhadap siswa lalu meminta mereka untuk menganalisi dan mengevaluasi. Tetapi dalam keadaan ini apakah berpikir berguna, atau kritis?. Pendidikan belum menjadi awal dimana kita belajar untuk berfikir. Pendidikan hanya bertugas mengajarkan keterampilan, fakta, dan konsep kecerdasan yang membeku. maka berpikir hanyalah sebuah alat dan kurikulum adalah konten. Padahal kebutuhan realita kehidupan kini harus mengajarkan bagaimana berfikir kritis dan pemecahan masalah maka berpikir adalah pekerjaan kolektif guru agar kurikulum kita menjadi sarana belajar berfikir.

Tidak salah bila dunia usaha,dunia kerja dan industri, ketika menggunakan hasil kinerja kolektif guru beranggapan biasa-biasa saja. Oleh karena itu jika kurikulum kita tetap berfokus kepada konten, maka kita hanya perlu memutuskan apa persyaratan keberhasilan kita dan terus bereksperimen sampai kita mengubah semua grafik penilaian dari merah dan kuning ke hijau atau rubah persyaratan untuk skor baru yang akan menyatakan kalo itu sukses.

Bagaimanapun, berpikir kritis tentulah sekunder daripada tujuan dari sebuah institusi pendidikan selama kita berada di halaman yang sama. Selama itu yang kita inginkan. Tetapi jika kurikulum akan digunakan agar dapat berpikir. Hanya akan terwujud ketika tugas kita adalah, keluar dari rasa nyaman, lalu ajarkan tentang berfikir pada ruang-ruang kelas kemudian rela hati untuk merubah tujuan kita sebagai pendidik.

Karena untuk belajar berpikir, siswa membutuhkan model yang kuat dan menginspirasi agar menjadi cermin mereka, mengajarkan berfikir haruslah cermat, kreatif, dan benar-benar inovatif, siswa membutuhkan ruang dan alat kreatif dan kerangka kerja yang terencana untuk mengembangkan bakat mereka sendiri untuk kualitas dan kesuksesan mereka. 

Mereka membutuhkan keterampilan literasi dinamis yang mereka praktikkan dan dibangun tanpa henti. Bukan proyek yang memiliki kreativitas namun pemikiran yang ditambahkan, agar dapat berfungsi ketika tanpa guru karna mereka membutuhkan kendali bagi diri mereka sendiri. Jika kurikulum sudah merasa puas, yakinlah bahwa ini hanyalah sarana untuk tujuan yang berbeda. Bukan prioritas, tetapi bagaimana mencapai hasil yang menyenangkan Guru perlu menambahkan misi agar masyarakat pengguna produk pendidikan menjadi yakin dan percaya. Kemudian sebagai guru, perlu memiliki standar akademik yang menjadi batas luar biasa yang penting dimiliki setiap siswa. Dengan tujuan agar dunia usaha, dunia kerja dan industri serta masyarakat tidak mengeluhkan bahwa siswa “tidak dapat berpikir sendiri”.

Maka penting bagi kita guru memilah mana jauh lebih penting mengajarkan konten atau mengajari siswa cara berpikir? Tidak bermaksud dikotomi, namun salah kita jika tak dapat mengajarkan berfikir dan kurikulum, tetapi mungkin saja kita mencoba untuk melayani keduanya atau gagal keduanya.

Kurikulum akan berubah jika prioritas kita adalah pada pemikiran kritis, kreatif, dan kolaboratif, lalu Peran apa yang akan dimainkan oleh konten yang ada akan mengubah jenis interaksi yang siswa miliki dengan gagasan satu sama lainnya. Apakah ini lebih mudah untuk dinilai, atau lebih sulit? Apakah penilaian akan terus menjadi pusat bagaimana kita mendorong pembelajaran atau akankah sesuatu yang lain bertindak sebagai katalisator kolaborasi, kreativitas, ide, model.  Apa yang disarankan oleh realitas zaman Google ini yang kita ajarkan? Apakah siswa membutuhkan guru lebih sedikit dalam konteks seperti itu atau lebih dari sebelumnya?.

Bagaimana seharusnya kurikulum menanggapi dunia baru? apakah sudah waktunya untuk memikirkan kembali praktik kolektif kita? Apa yang guru inginkan untuk siswanya kurikulum konten, atau kurikulum berfikir? terserah pendidik untuk memutuskan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun