Salah satu alasan investor China begitu agresif masuk ke Indonesia adalah karena mereka menerima insentif perpajakan yang sangat longgar dan menguntungkan. Dalam kebijakan fiskal Indonesia, khususnya untuk proyek yang masuk dalam kategori Proyek Strategis Nasional (PSN) atau kawasan industri tertentu seperti Morowali, Weda Bay, dan Konawe, pemerintah menyediakan insentif berupa:
Tax Holiday hingga 20 tahun, bahkan bisa diperpanjang.
- Pembebasan bea masuk alat dan bahan baku.
- Pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan hingga 100%.
- Insentif super tax deduction bagi industri pengolahan.
- Fasilitas tax allowance tanpa transparansi penuh kepada publik.
Celakanya, keringanan pajak ini sering tidak dibarengi dengan kewajiban pembangunan infrastruktur sosial bagi masyarakat lokal. Perusahaan-perusahaan tambang dan smelter di bawah kendali investor China justru menikmati kemewahan fiskal di tengah penderitaan rakyat yang hidup di sekitar tambang tanpa akses air bersih, listrik, atau layanan kesehatan layak.
Bahkan dalam beberapa laporan investigatif, beberapa perusahaan afiliasi investor China di Indonesia melakukan transfer pricing atau pengalihan keuntungan ke luar negeri untuk menghindari pajak lebih lanjut. Negara dirugikan dua kali: tidak mendapat pajak maksimal, dan harus menanggung dampak ekologis serta sosial dari kegiatan mereka.
85 Persen Keuntungan Hilirisasi Dinikmati oleh Investor China
Salah satu justifikasi utama pemerintah dalam menggencarkan hilirisasi tambang adalah untuk menambah nilai tambah dan menciptakan kesejahteraan bagi bangsa. Namun realitasnya jauh dari harapan. Kajian dari berbagai lembaga termasuk LPEM UI dan data Mining Advocacy Network (Jatam) menunjukkan bahwa dalam proyek-proyek nikel, baik di Morowali maupun Weda Bay, sebanyak 80--85 persen keuntungan bersih justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan China.
Mengapa bisa demikian?