Ketergantungan Ekonomi Indonesia pada China: Jalan Pintas yang Menjebak?
Dalam satu dekade terakhir, wajah ekonomi Indonesia berubah drastis. Proyek-proyek raksasa menjulang di berbagai wilayah, kawasan industri bermunculan, jalan tol dan pelabuhan dibangun dengan gegap gempita. Namun di balik semarak pembangunan itu, ada satu pola mencolok: dominasi investasi asal China. Indonesia, secara perlahan namun pasti, tampak sangat bergantung pada Beijing. Pertanyaannya, apakah ini langkah strategis atau justru jalan pintas yang menjerumuskan?
Investasi China Mengalir Deras, Tanpa Hambatan
Tak bisa disangkal, China kini menjadi salah satu investor terbesar di Indonesia. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menjadi simbol kuatnya penetrasi ekonomi Tiongkok. Tak hanya di bidang transportasi, investasi China mengalir deras di sektor energi, pertambangan, manufaktur, hingga properti.
Dalam laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), China secara konsisten menduduki peringkat dua atau tiga dalam daftar negara asal investasi asing langsung (FDI). Namun yang lebih menarik dari angka tersebut adalah kecepatannya. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, nilai investasi China melonjak lebih dari sepuluh kali lipat.
BRI dan Hilirisasi: Alasan Strategis atau Pengalihan Beban?
Salah satu alasan utama ketergantungan Indonesia pada China adalah ambisi hilirisasi. Pemerintah Indonesia mendorong pengolahan nikel, bauksit, dan mineral lainnya di dalam negeri. Sayangnya, industri smelter dan manufaktur berat memerlukan modal besar dan teknologi tinggi, dua hal yang belum mampu dipenuhi oleh investor lokal.
China datang membawa solusi: teknologi, pembiayaan cepat, dan kesediaan untuk menanggung risiko. Sebagian besar proyek smelter di Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan kini dikuasai perusahaan-perusahaan China seperti Tsingshan, CNGR, dan Huayou. Pemerintah menyambut mereka dengan tangan terbuka, bahkan memberi label Proyek Strategis Nasional (PSN), yang membuat proyek-proyek ini sulit disentuh oleh pengawasan publik.
Namun di balik itu, publik perlu bertanya: Apakah semua ini benar-benar untuk kemandirian ekonomi? Atau hanya pengalihan beban pembangunan kepada pihak asing, yang justru memperdalam ketergantungan?
Relasi yang Asimetris dan Ketimpangan Kuasa
Ketergantungan yang terjadi bukanlah simbiosis mutualisme. Relasi Indonesia-China kerap tidak seimbang. Perusahaan-perusahaan China membawa teknologi dan modal, tapi juga tenaga kerja asing (TKA) dalam jumlah besar. Banyak laporan menyebutkan pelanggaran hak-hak buruh lokal, pengabaian terhadap analisis dampak lingkungan (AMDAL), hingga konflik agraria di wilayah tambang.
Masalah lainnya adalah tidak adanya transfer teknologi yang nyata, padahal ini seharusnya menjadi bagian dari setiap kerja sama investasi. Ketika perusahaan-perusahaan China pergi suatu saat nanti, akankah Indonesia cukup mampu untuk melanjutkan proses industrinya sendiri? Ataukah kita hanya akan mewarisi lubang tambang dan limbah beracun?
Pragmatisme Ekonomi yang Mengaburkan Risiko
Pemerintah tampak begitu pragmatis dalam menjalin kerja sama dengan China. Ketika negara-negara Barat enggan berinvestasi tanpa syarat HAM dan transparansi, China menawarkan investasi tanpa "pertanyaan moral". Inilah yang membuat Beijing menjadi mitra ideal bagi negara-negara berkembang dengan kapasitas regulasi yang lemah.
Namun pragmatisme ini bisa berbahaya. Ketika investasi menjadi tujuan utama, negara kehilangan daya kritisnya. Proyek-proyek besar tidak lagi dilihat dalam kerangka kepentingan rakyat, tapi semata-mata sebagai pencapaian angka. Negara bisa kehilangan kedaulatannya, bukan oleh kolonialisme lama, tapi oleh kolonialisme ekonomi yang dibungkus kerja sama.
Apakah Kita Sedang Dijajah Ulang secara Ekonomi?
Jika dulu penjajahan dilakukan lewat kekuatan militer, kini bentuk barunya adalah ekonomi yang terkendali oleh pihak luar. Ketika arah pembangunan nasional sangat ditentukan oleh modal asing, maka keputusan strategis bangsa ikut tergadaikan. Yang lebih menyedihkan, ketergantungan ini tidak selalu menguntungkan rakyat.
Banyak wilayah penghasil nikel dan tambang kini mengalami kerusakan ekologis parah. Penduduk lokal hanya menjadi penonton dalam arus uang miliaran dolar yang masuk. Di saat yang sama, utang negara terus bertambah. Bukankah ini ironis?
Menuju Kemandirian atau Semakin Terbelenggu?
Ketergantungan pada investor China seharusnya menjadi cermin untuk meninjau ulang arah kebijakan pembangunan Indonesia. Pembangunan seharusnya berakar dari kekuatan domestik: teknologi lokal, BUMN yang sehat, SDM yang unggul, dan perencanaan jangka panjang yang visioner.
Kerja sama luar negeri tetap penting. Tapi jika semua hal vital, seperti tambang, transportasi, hingga energi, dikuasai oleh pihak asing, maka kita harus jujur mengakui bahwa kita belum benar-benar merdeka.
Kemudahan Perpajakan Luar Biasa bagi Investor China
Salah satu alasan investor China begitu agresif masuk ke Indonesia adalah karena mereka menerima insentif perpajakan yang sangat longgar dan menguntungkan. Dalam kebijakan fiskal Indonesia, khususnya untuk proyek yang masuk dalam kategori Proyek Strategis Nasional (PSN) atau kawasan industri tertentu seperti Morowali, Weda Bay, dan Konawe, pemerintah menyediakan insentif berupa:
Tax Holiday hingga 20 tahun, bahkan bisa diperpanjang.
- Pembebasan bea masuk alat dan bahan baku.
- Pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan hingga 100%.
- Insentif super tax deduction bagi industri pengolahan.
- Fasilitas tax allowance tanpa transparansi penuh kepada publik.
Celakanya, keringanan pajak ini sering tidak dibarengi dengan kewajiban pembangunan infrastruktur sosial bagi masyarakat lokal. Perusahaan-perusahaan tambang dan smelter di bawah kendali investor China justru menikmati kemewahan fiskal di tengah penderitaan rakyat yang hidup di sekitar tambang tanpa akses air bersih, listrik, atau layanan kesehatan layak.
Bahkan dalam beberapa laporan investigatif, beberapa perusahaan afiliasi investor China di Indonesia melakukan transfer pricing atau pengalihan keuntungan ke luar negeri untuk menghindari pajak lebih lanjut. Negara dirugikan dua kali: tidak mendapat pajak maksimal, dan harus menanggung dampak ekologis serta sosial dari kegiatan mereka.
85 Persen Keuntungan Hilirisasi Dinikmati oleh Investor China
Salah satu justifikasi utama pemerintah dalam menggencarkan hilirisasi tambang adalah untuk menambah nilai tambah dan menciptakan kesejahteraan bagi bangsa. Namun realitasnya jauh dari harapan. Kajian dari berbagai lembaga termasuk LPEM UI dan data Mining Advocacy Network (Jatam) menunjukkan bahwa dalam proyek-proyek nikel, baik di Morowali maupun Weda Bay, sebanyak 80--85 persen keuntungan bersih justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan China.
Mengapa bisa demikian?
Investor China menguasai seluruh rantai produksi, mulai dari penambangan, pengolahan, hingga ekspor.
Peran perusahaan lokal Indonesia sebagian besar hanya sebagai penyedia lahan, pekerja kasar, atau mitra minoritas.
Peralatan, teknologi, dan bahkan logistik didatangkan dari China, sehingga uang berputar lebih banyak ke luar negeri daripada di dalam negeri.
Dalam beberapa kasus, kontrak-kontrak pengelolaan sumber daya dibuat sangat tertutup, sehingga tidak ada transparansi mengenai pembagian keuntungan yang adil.
Yang lebih tragis, pemerintah seolah bangga atas angka ekspor nikel yang naik drastis tanpa menyebutkan bahwa nilai tambah ekonomi nasional tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang ditimbulkan.
Penutup
Jalan pintas pembangunan yang ditawarkan investor China memang menggoda. Cepat, mudah, dan terlihat berhasil. Tapi di balik itu ada konsekuensi jangka panjang: hilangnya kontrol, menurunnya daya saing nasional, dan meningkatnya ketimpangan. Jika kita tidak hati-hati, jalan pintas ini bisa menjadi jalan buntu yang menjebak masa depan bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI