Masalah lainnya adalah tidak adanya transfer teknologi yang nyata, padahal ini seharusnya menjadi bagian dari setiap kerja sama investasi. Ketika perusahaan-perusahaan China pergi suatu saat nanti, akankah Indonesia cukup mampu untuk melanjutkan proses industrinya sendiri? Ataukah kita hanya akan mewarisi lubang tambang dan limbah beracun?
Pragmatisme Ekonomi yang Mengaburkan Risiko
Pemerintah tampak begitu pragmatis dalam menjalin kerja sama dengan China. Ketika negara-negara Barat enggan berinvestasi tanpa syarat HAM dan transparansi, China menawarkan investasi tanpa "pertanyaan moral". Inilah yang membuat Beijing menjadi mitra ideal bagi negara-negara berkembang dengan kapasitas regulasi yang lemah.
Namun pragmatisme ini bisa berbahaya. Ketika investasi menjadi tujuan utama, negara kehilangan daya kritisnya. Proyek-proyek besar tidak lagi dilihat dalam kerangka kepentingan rakyat, tapi semata-mata sebagai pencapaian angka. Negara bisa kehilangan kedaulatannya, bukan oleh kolonialisme lama, tapi oleh kolonialisme ekonomi yang dibungkus kerja sama.
Apakah Kita Sedang Dijajah Ulang secara Ekonomi?
Jika dulu penjajahan dilakukan lewat kekuatan militer, kini bentuk barunya adalah ekonomi yang terkendali oleh pihak luar. Ketika arah pembangunan nasional sangat ditentukan oleh modal asing, maka keputusan strategis bangsa ikut tergadaikan. Yang lebih menyedihkan, ketergantungan ini tidak selalu menguntungkan rakyat.
Banyak wilayah penghasil nikel dan tambang kini mengalami kerusakan ekologis parah. Penduduk lokal hanya menjadi penonton dalam arus uang miliaran dolar yang masuk. Di saat yang sama, utang negara terus bertambah. Bukankah ini ironis?
Menuju Kemandirian atau Semakin Terbelenggu?
Ketergantungan pada investor China seharusnya menjadi cermin untuk meninjau ulang arah kebijakan pembangunan Indonesia. Pembangunan seharusnya berakar dari kekuatan domestik: teknologi lokal, BUMN yang sehat, SDM yang unggul, dan perencanaan jangka panjang yang visioner.
Kerja sama luar negeri tetap penting. Tapi jika semua hal vital, seperti tambang, transportasi, hingga energi, dikuasai oleh pihak asing, maka kita harus jujur mengakui bahwa kita belum benar-benar merdeka.
Kemudahan Perpajakan Luar Biasa bagi Investor China