Pendahuluan: Bahaya yang Tidak Terlihat, Tapi Nyata
Program Koperasi Merah Putih digulirkan dengan semangat besar untuk membangkitkan ekonomi rakyat. Dengan target membentuk 80.000 koperasi baru dan memberikan suntikan modal hingga Rp3 miliar per koperasi, harapannya adalah menciptakan pemerataan ekonomi berbasis kekuatan lokal. Di permukaan, inisiatif ini tampak menjanjikan: rakyat dilibatkan, koperasi diberdayakan, dan pemerataan kesejahteraan didorong dari bawah.
Namun, di balik angka-angka dan euforia pembentukan koperasi baru, terdapat bahaya laten yang pelan tapi pasti mulai menunjukkan gejalanya. Saya menyaksikan langsung pembentukan beberapa Koperasi Merah Putih dan mendengar apa yang ada dalam harapan warga, antusiasme masyarakat memang tinggi, tapi yang mengemuka justru harapan untuk "meminjam uang dengan mudah" dari pemerintah. Koperasi dianggap sebagai pintu masuk dana, bukan sebagai wadah perjuangan ekonomi kolektif.
Inilah titik rawan yang belum banyak disadari. Ketika koperasi dibentuk atas dasar persepsi "akses dana gratis dari pusat," maka semangat gotong royong, partisipasi anggota, kemandirian modal, dan visi jangka panjang perlahan-lahan terkikis. Dana stimulus yang seharusnya menjadi pemicu pertumbuhan, justru bisa menjadi sumber kehancuran diam-diam, apabila tidak dibarengi dengan kesadaran kolektif dan tata kelola yang sehat.
Bahaya laten ini tidak langsung terlihat. Ia bersembunyi di balik struktur formal koperasi yang tampak legal. Tapi jika dibiarkan tumbuh, ia bisa menggerogoti koperasi dari dalam: menciptakan ketergantungan, konflik sosial, moral hazard, kredit macet, dan matinya inisiatif warga.
Koperasi sejati dibangun dari kesadaran, kontribusi, dan rasa memiliki. Tapi ketika koperasi hanya dipandang sebagai proyek "distribusi dana negara," maka ia akan kehilangan akarnya, dan tinggal menunggu waktu untuk runtuh.
Artikel ini mengurai tanda-tanda bahaya itu satu per satu. Bukan untuk menghakimi program, tetapi untuk memberi peringatan bahwa niat baik saja tidak cukup. Tanpa arah yang benar dan pemahaman yang mendalam, program koperasi bisa menjadi jebakan kolektif yang justru memperlemah ekonomi rakyat, bukan menguatkannya.
Koperasi Bukan ATM Publik
Salah satu kekeliruan paling mendasar dalam memandang koperasi, terutama dalam konteks program Koperasi Merah Putih, adalah menganggapnya sebagai "lembaga kredit lunak yang didanai negara." Dalam persepsi ini, koperasi bukan lagi tempat membangun usaha bersama, melainkan hanya sarana untuk menarik dana semudah mungkin. Banyak warga yang datang mendaftar bukan dengan semangat gotong royong atau niat berkontribusi, tapi karena satu motivasi: "kapan cair?"
Akibatnya, makna sejati koperasi sebagai wadah usaha kolektif berbasis partisipasi anggota perlahan mulai hilang. Tidak ada dorongan untuk menabung, enggan ikut rapat anggota, dan tidak merasa punya tanggung jawab terhadap keberlanjutan koperasi. Rasa memiliki bergeser menjadi rasa menuntut.
Dalam iklim seperti ini, koperasi berubah wajah menjadi ATM publik, tempat mencairkan dana, bukan tempat membangun ekonomi. Selama ada uang dari pusat, koperasi berjalan. Tapi ketika aliran dana berhenti, koperasi ikut mati suri. Tidak ada aktivitas usaha, tidak ada produksi, tidak ada pengembalian pinjaman. Yang tersisa hanyalah nama koperasi dan daftar piutang tak tertagih.