“Kritik terhadap pejabat publik tidak bisa disamakan dengan penghinaan pribadi, selama kritik tersebut bertujuan untuk kepentingan umum dan dilakukan secara argumentatif.”
Oleh karena itu, dalam menulis ini, saya tidak menuduh Luhut secara personal, melainkan menyoroti pemusatan kekuasaan luar biasa yang berada di tangannya selama dua periode pemerintahan Jokowi. Kritik ini diarahkan bukan kepada integritas moral pribadi, tetapi kepada konsekuensi sistemik dari peran dan pengaruhnya dalam merusak keseimbangan institusi negara.
Demokrasi Butuh Keberanian Intelektual
Kita tidak akan pernah memiliki masa depan yang sehat jika kita takut mengoreksi masa kini. Kita tidak akan pernah membangun lembaga yang kuat jika kita terus memuja figur dan membiarkan mereka berjalan tanpa pengawasan. Demokrasi tidak boleh diatur oleh rasa sungkan, tetapi oleh keberanian berpikir dan ketegasan bersikap.
Menulis kritik seperti ini adalah cara menjaga republik agar tetap berjalan di rel konstitusi, bukan di lorong kekuasaan personal. Ini adalah upaya mencatat sejarah secara jujur, agar generasi mendatang tidak tersesat oleh propaganda pencitraan atau narasi sepihak.
Pelajaran yang Harus Dikenang: Dari Figur ke Sistem
Fenomena “menteri segala urusan” bukan sekadar cerita politik harian yang bisa dilupakan begitu saja setelah berganti rezim. Ia adalah preseden buruk dalam sejarah ketatanegaraan kita, yang, jika dibiarkan berulang, akan merusak pondasi demokrasi konstitusional dan menyeret bangsa ini ke arah kepemimpinan yang personalistik, transaksional, dan koruptif.
Konsentrasi Kekuasaan Melahirkan Ketimpangan Sistemik
Setiap kekuasaan yang terkonsentrasi secara berlebihan pada satu figur akan menciptakan ketimpangan dalam distribusi kewenangan, disfungsi kelembagaan, dan hilangnya checks and balances. Kita menyaksikan secara nyata:
- Pejabat lain kehilangan daya karena kebijakan strategis telah dikuasai oleh satu tokoh dominan.
- Kementerian menjadi hiasan struktural tanpa pengaruh substantif.
- Fungsi DPR dan lembaga pengawas turut lemah, karena akses terhadap informasi dan keputusan besar dipusatkan di satu meja kekuasaan.
Kondisi ini membuka jalan bagi pertumbuhan oligarki politik dan ekonomi, karena kekuasaan yang terpusat lebih mudah ditunggangi oleh kepentingan bisnis besar, terutama yang memiliki koneksi langsung ke figur sentral tersebut.
Sejarah Telah Memberi Peringatan: Figur Dominan Selalu Membajak Sistem